Gadis Merah

Andam Aulia
Chapter #14

Inisial si Pembunuh

“Kita nekat banget nggak sih, masih mau lanjutin proyek film ini?” tanya Windy, dia menatap Juna yang masih sibuk mengerjakan PR Bahasa Inggrisnya. Dia lupa mengerjakan gara-gara begadang nonton bola semalam suntuk.

“Kan udah kubilang kemarin. Udah ngomong panjang lebar gitu,” jawab Juna tanpa mengangkat wajah dari tugasnya. 

“Tapi di satu sisi, kita semua penasaran sama kisah si Gadis Merah alias Miranda itu kan?” tanyanya dengan sabar dan Windy mengangguk.

“Iya lah,” jawabnya segera.

“Nah ya udah. Kita semua kan juga pengin tahu kebenarannya. Masa enggak sih? Ayo lah siapa sih yang nggak penasaran dengan misteri pembunuhan yang nggak terpecahkan. Makanya kita tetep keukeuh buat ngelanjutin proyeknya,” lanjut Juna sambil terus menulis.

“Yak akhirnya kelar! Sip, tepat lima menit sebelum bel bunyi. Orang jenius emang beda,” tambahnya songong dan tangan Windy langsung bergerak untuk memukul lengannya dengan jengkel. Juna dengan cepat menghindar lalu tertawa.

“Oh iya Win. Omong-omong soal jenius, Miranda kan masih muda, seumur kita. Katanya dia cantik, terus pinter dan  berprestasi juga. Populer lagi. Apa sih kesalahan dia sampe dia pantes buat dibunuh?”

Windy langsung tercengang mendengar pertanyaannya. Ya, dia tak pernah memikirkan hal itu. Apa yang membuat seorang cewek cantik dan berprestasi sampai harus dibunuh dengan cara yang begitu kejam?

***

Semua orang berkumpul di ruang klub sepulang sekolah dan melaporkan usaha mereka mendapatkan info lagi.

“Kemarin Pak Mustofa nggak kasih info apa-apa lagi. Dia malah ngajak ngobrol mulu,” desah Kiran dan Petra mengangguk.

“Dia malah sibuk cerita soal masa mudanya sambil nawarin makanan mulu. Kami sampe enek banget makan gorengan,” katanya.

“Apalagi Pak Ikhwan ikut-ikutan nambahin. Kita jadi terjebak nostalgia mereka yang bosenin ya Kir,” tambahnya lesu dan Kiran mengangguk.

“Kesel deh pokoknya. Udah capek, bosen, nggak dapet apa-apa pula,” keluhnya. Dia lalu menghela nafas panjang.

“Kami juga nggak boleh masuk ruang arsip lagi. Bu Hana nggak kasih tahu alesannya, pokoknya nggak boleh,” lapor Wendra, ikutan terlihat lesu. Dia lalu duduk di kursinya dengan tampang kecewa. Diam-diam dia malu pada dirinya sendiri karena kemarin sudah sombong banget bakalan bisa dapat info tambahan di ruang arsip.

“Kalian gimana?” tanya Petra sambil memandang Zevania dan Juna.

“Dapet sesuatu kan?” tambahnya bersemangat. Wajahnya kelihatan berharap banget. Melihat ekspektasinya Zevania langsung meringis.

“Nggak sama sekali,” jawabnyaa segera.

Petra langsung kelihatan kecewa.

“Yaaah.”

Zevania meringis lagi.

“Sori deh.” Dia kelihatan kecewa juga, walaupun tidak seperti Petra. Dia tahu informasi soal hal apa pun lama kelamaan akan habis juga.

Semua orang langsung memandang Juna. Tinggal dia yang belum menjawab dan belum memberitahu hasil pencariannya.

“Jun? Gimana?” tanya Petra.

Juna tak memandang teman-temannya, dia malah melipat lengannya lalu memandang ke arah lain. Semua orang jadi bingung.

“Kenapa sih?” tanya Kiran.

“Hmmm,” kata Juna akhirnya. Dia mengerutkan dahi dan menggigit bibir bawahnya.

Lihat selengkapnya