Gadis Pelukis Mimpi

Yoemi Noor
Chapter #2

Anak yang Menangis dalam Pelukanku

Parau suaranya timbul tenggelam diantara isak tangisnya yang tak tertahan. Wajahnya sendu. Alir air matanya melukis ketakutan, kebimbangan, keraguan, dan kebingungan yang ada dalam dirinya. Sesekali ia menggigit bibirnya, berusaha menahan tangisnya yang semakin menjadi. Munkin ada rasa malu dibenak anak itu, menengis di depanku. Tapi ketakutan dan kebingungannya lebih besar. Menutup rasa malu dalam dirinya. Tanpa berani memandangku, anak itu memelukku erat. Mencari setitik perlindungan, ketenangan, dan kehangatan untuk perasaannya yang kalut.

Malam semakin larut. Jarum jam semakin bergeser meninggalkan angka 12. Hening semakin menebar nuansa sunyi. Tubuhnya semakin menggigil digerogoti dingin. Membuatnya semakin menenggelamkan diri dalam pelukanku. Kusentuh pipinya. Masih basah; tetes-tetes air itu belum juga reda. Tak kusangka, ia bisa jadi secengeng ini.

“Aku takut …” katanya untuk kesekian kali.

"Apa yang kau takutkan?”“

"Aku telah melukainya,” jawabnya diiringi tangis yang makin membucah setelah sempat hamper mereda.

Tak ada yang mampu kukatakan. Aku mengerti benar akan rasa bersalahnya. Tak dapat dijelaskan dengan kata. Kata sudah tak mampu mengungkap makna. Hanya saja, rasa itu semakin kuat menyiksa batinnya. Membuatnya serba salah. Membuatnya jadi lemah.

Anak itu terus menangis dalam pelukanku. Tanpa peduli waktu. Tanpa mau mengerti rasa lelah dan kantuk yang menyergap mataku. Tak banyak pula yang bisa kulakukan untuk menghibur anak itu. Kecuali membelai kepalanya dengan lembut. Juga sesekali mencium keningnya. Memberi tahu bahwa masih ada orang disampingnya, yang peduli dan menyayanginya.

Di luar sana, kulihat bulan tak bulat sempurna. Ada segumpal awan tipis yang berkelebat. Membuat sinarnya redup dan wajah bulan tampak muram. Seperti anak yang sedang menangis dalam pelukanku. Senyum ceria yang biasa menghias wajahnya telah menghilang. Tersapu badai tangis dan gundah yang dalam. Memunculkan seraut wajah muram penuh kesedihan.

“Kau menyesal?” tanyaku mencoba berbagi rasa.

Tak sepatahkatapun keluar dari mulutnya. Hanya isak tangis yang kuterjemahkan menjadi jawaban “ya”. Tapi setelah beberapa lama, ternyata aku salah. Bukan kata itu yang ia ucapkan.

“Tidak,” suaranya pelan hampir tak terdengar. Bisa kurasakan, ada keraguan dari jawabannya.

Ditatapnya wajahku. Matanya masih berkaca-kaca. Ditariknya nafas dalam-dalam. Berusaha menahan agar air matanya tak meleleh lagi. Sejenak kemudia ia kembali memelukku erat.

“Benar-benar anak kecil yang cengeng,” pikirku.

Dingin dini hari semakin terasa. Aku sudah sangat lelah. Membiarkannya berjam-jam menangis dalam pelukanku. Tapi aku juga tak tega meninggalkannya sendirian dalam keadaan seperti ini. Karena itu kuputuskan untuk tetap membiarkannya menikmati tangis dalam pelukanku hingga ia puas. Mungkin dengan begitu akan sedikit mengurangi beban di hatinya.

***

“Hentikan tangismu! Jangan jadi laki-laki cengeng."

Lihat selengkapnya