Gadis Pelukis Mimpi

Yoemi Noor
Chapter #3

Pesan Rindu Lewat Angin

Betapa kesendirian itu telah mendarah daging dalam tubuhnya. Tak ada teman baginya kecuali burung-burung yang berkicau waktu pagi, semerbak mawar yang menghambur bersama dengan pancaran sinar surya yang hangat, dan tentunya angin berhembus lembut. Hidupnya yang sepi dan rutinitas yang monoton. Di tempat itu, pekerjaan utamanya adalah menulis surat yang tak jelas di tujukan pada siapa. Karena ketidak jelasan itulah ia hanya mampu menitipkan surat-suratnya pada angin yang berhembus. Dengan pasrah mebiarkan suratnya di terbangkan angin tak tentu arah.

Memang, yang di titipkan lewat angin itu tak lebih dari setumpuk surat belaka. Surat yang penuh kata-kata, kalimat panjang yang kelam tapi hanya memeuat satu makna, kerinduan! Kerinduan yang teramat panjang. Lebih panjang dari seluruh deretan kata yang tertulis dalam surat itu.

Jauh di masa lalu, bahkan seumur hidupnya di penuhi dengan kerinduan. Kini kerinduan itu telah melebur, menyatu dengan detak nadi dan aliran darahnya. Rindu yang sunyi, rindu yang dalam. Rindu pada sesuatu yang tak diketahuai, tak terungkap, dan tertimbun di dasar hati.

"Angin itu memang begitu baik, selalu bersedia membawa surat-suratku,” pikirnya saat termenung menunggu kedatangan agin yang berhembus.

Ya, itulah yang selalu ia lakukan tiap pagi. Menunggu agin yang lewat, menghentikan sejenak, mengajak sedikit berbincang. Tentu saja sebuah perbincangan tentang surat-surat yang berisi tentang kerinduanya. Seperti sekarang, ketika matahari merangkak naik dan embun mengucap selamat tinggal pada dedaunan. Angin pun menghampirinya, berhenti di dekat kamar tempat ia menunggu.

“Angin, adakah surat balasan untukku?”

“Maaf Ana, tak ada surat balasan untukmu.”

Sebuah jawaban yang tak asing baginya, karena memang hanya jawaban itu yang selalu di berikan angin selama ini. Tapi ia tak pernah putus asa. Kerinduanya yang begitu besar pada sosok bayangan di masa lalunya, selalu memberi dorongan untuk menemukan kembali atau setidaknya mengetahui keberadaan bayangan tersebut.

“Tak apa, angin, aku yakin suatu saat nanti kau akan membawa surat balasan untuk ku.”

“Ya, semoga saja demikian.”

Suasana hening sesaat, pandangan Ana menerawang jauh. Ia mencoba untuk tetap tegar.

“Angin, apa kau tak bosan kutitipi surat tiap hari?”

“Tentu saja tidak, kenapa kamu bertanya seperti itu?”

“Aku hanya berpikir betapa baiknya dirimu. Semua tukang pos di dunia ini tak ada yang mau menghantar surat-suratku, mungkin karena aku tak tahu kepada siapa dan dimana alamat surat itu harus ku tujukan. Hanya kau yang bersedia membantuku. Rela berhembus ke sana ke sini untuk menyampaikan suratku.”

“Biasa saja Ana, selama aku bisa, tentu aku akan membantumu. Apa kau begitu merindukanya?”

“Ya, aku sangat merindukanya. Aku berharap besar padamu. Semoga lewat kau kerinduanku ini bisa tersampaikan.”

Lihat selengkapnya