Pukul tujuh. Suatu pagi yang damai di tepi telaga. Matahari yang masih terdiam di ujung timur mulai memancarkan cahayanya, menerobos sela-sela daun cemara yang berada di sampingku. Pancaran sinarnya terasa hangat dan lembut, seakan berada di rumah, dalam dekapan bunda.
Pada saat seperti sekarang ini, orang-orang mulai berdatangan ke tepi telaga. Menghirup udara yang sejuk dan menikmati keindahan pagi. Suasana sunyi yang terasa waktu permulaan pagi pun telah lenyap. Tergantikan oleh ramai hiruk pikuk manusia. Bangku panjang yang terletak kira-kira sepuluh meter di kananku, yang pagi tadi masih kosong, kini telah penuh di duduki orang.
Sementara itu, di dekatku kulihat rumpun mawar liar yang tumbuh subur. Kuncup-kuncupnya mulai merekah. Harumnya pun mulai bertebaran di sekelilingku. Wangi dan indah.
Pandanganku terlempar jauh. Di ujung telaga, kulihat bangunan tua yang megah. Bangunan itu mirip sebuah kastil. Hanya saja, ketika suatu kali pernah kudatangi tempat itu, tak ada parit yang mengelilinginya. Mungkin tampak aneh, di tempat seperti ini ada bangunan yang megah. Meski bangunan tua, tak sedikitpun kekokohannya terkoyak.
"Bunga mawar itu indah dan cantik, ya?"
Sebuah suara mengagetkanku. Kutengokkan pandanganku ke arah sumber suara. Kudapati pemilik suara itu seorang gadis cantik. Rambutnya panjang terurai, hitam dan lurus. Kulitnya putih mulus dengan tinggi semampai. Kuperkirakan usianya 20 tahunan. Dia terlihat masih sangat muda.
"Ami," katanya sambil mengulurkan tangan dan tersenyum ramah.
Aku masih terdiam. Rasanya senyum itu tak asing bagiku. Apalagi ketika kulihat tangan kirinya menggenggam setangkai mawar ungu. Sungguh mengingatkanku pada seseorang yang sangat berarti ....
"Hei ... apa kau baik-baik saja?" tanya gadis itu saat melihatku hanya diam terpaku.
"Oh, tentu. Saya baik-baik saja. Miko." Kusebutkan namaku sembari menjabat jemari lentiknya.
Gadis itu kembali tersenyum. Senyum yang manis. Lalu ia mencium setangkai mawar ungu yang dibawanya. Sejenak ia memejamkan mata. Dihirupnya udara yang bercampur harum mawar dalam-dalam. Beberapa detik kemudian, ia kembali membuka matanya pelan. Mendekati serumpun mawar yang bermekaran di dekatku. Layaknya bertemu dengan seseorang yang ia kenal, kepada mawar-mawar itu pun ia tersenyum.
"Aku sangat mengagumi bunga mawar," katanya sambil memetik setangkai mawar putih.
Mendengar itu hatiku berdebar dan jantungku berdenyut lebih cepat. Dadaku serasa sesak sementara neuron-neuron dalam otakku melesat membongkar memori. Menyajikan sebuah wajah dalam ingatan.
"Viana ..." gumamku lirih tanpa sadar.
"Hei, kau bilang apa? Sepertinya kau mengucapkan sesuatu barusan ...."
"Aku ... aku tak berkata apapun," jawabku berbohong. "Em ... tadi kau bilang apa? Kau mengagumi bunga mawar, bukan?" tanyaku kemudian, berusaha menanggapi pembicaraan sebelumnya.