Shayrana, artinya adalah puitis. Orang-orang bilang, aku memang puitis dan pendiam. Mungkin benar, kadang aku tak mampu berkata-kata, lebih mudah menuliskannya dalam bait-bait aksara.
Pekerjaanku adalah seorang penjaga perpustakaan di kota Nadren. Gajiku mungkin tak besar, tapi ada banyak buku yang dapat kubaca dan kunikmati kapan saja. Meminjam dan kubawa pulang ke rumah.
Bagiamana dengan cinta? Tentu saja indah, itu awalnya. Aku sempat membuka hati untuk jatuh cinta. Dengan pria yang pernah tak sengajak menabrakku di depan perpustakaan. Namanya Ness. Namun, sayangnya dia memilih menikah dengan sahabatku yang konon lebih sesuai kriterianya.
Saat itu, di hari valentine dia mengajakku ke sebuah taman yang dipenuhi bunga serta lampu yang indah. Keyakinanku mengatakan dia akan melamarku, mengajakku menikah setelah enam bulan menjalin status sebagai sepasang kekasih.
Kukenakan gaun merah jambu khas tanggal 14 Februari, dan menatapnya dengan menis, meski ia tampak dingin tak seperti biasanya.
"Shay, aku harap kau tidak terkejut dengan pernyataanku malam ini," katanya dengan serius. Namun, sukses membuatku merona dan tersipu.
"Katakan," bisikku penuh harap.
Lama, ia memberi jeda.
"Aku ingin malam ini menjadi malam yang baik untuk semua orang, termasuk ... mereka yang mungkin kehilangan kekasih."
Aku mulai tak mengerti apa maksud perkataannya.
"Aku ... ingin kita putus."
"Apa? Kamu sedang membuat prank untukku kan?" tanyaku dengan senyuman menggoda.
"Nope! Ini serius," katanya lagi. "Aku membuat malam ini indah agar kau tak terlalu sakit hati saat kuputuskan."
"Ness ...."
"Aku mencintai Ishika," katanya cepat.
"Ishika?" tanyaku. Ya, wanita itu teman bekerjaku di perpustakaan. Kami kadang menghabiskan waktu bertiga. Tak dinyana, dia memasuki kehidupan kami dan akhirnya menggantikanku di hati Ness.
"Sudah sejak kapan kalian berhubungan?" tanyaku lagi, kali ini aku kehilangan senyuman.
"Tiga bulan lalu."
"Selama tiga bulan itu kalian berakting di depanku sebagai orang baik?"
"Sha-"
"Cukup! Aku mengerti," kataku. Mati-matian agar tak menangis.
"Kau benar, ini malam sangat indah untukku. Terima kasih, Ness." Aku membalikkan badan, rupanya Ishika ada di belakangku.
"Selamat, Ishika."
"Shay!"
"Jangan katakan apapun!" pintaku sambil berjalan meninggalkan mereka. Merasakan nyeri di hati.
"Baiklah, dia bukan suamiku kan? Untuk apa kuratapi seperti ini?" gumamku sambil terus berjalan dan menatap rentetan hiasan berbentuk hati dan juga bunga mawar.
Begitulah. Sakit hati? Jelas, tapi aku tak mau terus berduka. Aku juga datang ke pernikahan mereka dengan elegan, mengucapkan selamat dan tampil sebagai wanita kuat. Tak lupa kupersembahkan sebuah bait lagu untuk mereka.
Cinta memang tak pernah kenal tempat
Tapi sejatinya akal akan membuatnya mengingat
Bahwa berhianat bukanlah sebuah isyarat
Tapi untukku juga bukan kiamat
Aku selalu percaya takdir yang indah
Jika dihianati tapi hatinya tak patah
Akan ada banyak hati yang siap menengadah
Mengharap si setia untuk menikah
Aku tak pernah membenci takdir
Aku yakin akan menemukan indah di akhir