LILIAN AND HER FEAR

Mira Pasolong
Chapter #2

BAB I. INSECURE

Aku berharap tidak berada di tempat ini. Remang cahaya ditingkahi kerlip lampu disko, suara musik yang tak harmoni di gendang telinga, hingga bahana ketawa dari berbagai sudut ruangan membuat kepalaku pening. Ini sungguh tempat yang tak nyaman bagiku. Sepi di tengah keramaian. Keringat dingin yang membanjir di tengah dingin AC, dan senyum yang terpaksa di antara gelak tawa teman-teman sekelasku. 

Seharusnya aku tak di sini. Membaca setiap tatap penuh selidik. Menghitung setiap langkah berkedok silaturahim. Menyapa setiap kemunafikan berbalut senyuman. Ini memang bukan tempatku. Saat ini, seperti malam-malam sebelumnya, harusnya aku berada di kamar, menulis cerita atau melukis isi hati. Ataukah duduk bersama Ibu di kios dalam diam. Itu jauh lebih nyaman. 

Di sampingku Anti duduk menyeruput minumannya tanpa semangat. Dari raut wajahnya bisa kupastikan ia juga menyesal datang ke sini. Bukannya beramah tamah, malah saling pamer kekayaan. Meriah bagi mereka, tidak bagi kami.

"Kita pulang, ya," ajakku pada Anti. Kuperkirakan ia gengsi mengajakku balik. Bukankah ia tadi yang dengan semangat menyala membujukku agar mau menghadiri acara penamatan ini? Acara penamatan yang digagas oleh segelintir orang di kelasku, tanpa diketahui guru. 

Aku sejak awal memang tidak berniat datang. Bukan semata karena tidak mau seragamku jadi sasaran coretan teman-teman, tetapi bagiku bahagia tak mesti dirayakan. Bukankah setelah kebahagiaan pasti akan ada kesedihan? Betapa menakutkannya menerima kabar duka saat sedang bahagia. Sepertiterangkat ke langit, lalu terlempar kembali ke tanah. Sakit..

"Ayolah, Li. Ini terakhir kita kumpul sama teman-teman," rengek Anti. Mukanya memelas seperti tidak dapat uang jajan satu bulan. Satu-satunya sahabatku ini memang selalu tahu cara membuat kepalaku mengangguk.

"Tapi sebentar saja, ya," syaratku.

"Ah, ndak seruuu." Mulut Anti manyun, meski akhirnya mengangguk. 

Kami berboncengan ke Benteng memakai motor bebek ayah Anti. Acara belum dimulai waktu kami tiba. Sebagian besar teman sudah datang. Ada yang bersama teman dekatnya, ada pula yang sendiri. Anti menarik tanganku bergabung dengan mereka. Seperti kambing yang dicocok hidungnya, kakiku hanya mengikuti ke mana Anti melangkah. Tak ada niatan untuk bersenda gurau. Mataku awas melihat siapa-siapa saja yang datang. Akan semakin menyiksa bila bertemu dengan satu geng rusuh yang selalu menggangguku.

Pernah aku mengadu ke Ibu betapa tidak nyamannya di sekolah karena selalu diganggu oleh Titin dan gengnya. Semua perundungan yang kuterima idenya pasti dari mereka. Kadang teman yang lain ikut membully karena takut dengan ancaman Titin. Akunyakin di antara sekian banyak teman sekolah pasti ada yang merasa kasihan melihatku.

"Kalau kita dijatuhkan berarti kita lebih tinggi. Sabar saja. Mungkin mereka iri dengan kecantikan dan kecerdasan Lilian," hibur Ibu. Aku berusaha untuk bersabar, tetapi tetap merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut.

Aku cewek introvert. Begitu gelar yang kuterima sejak duduk di bangku SMA kelas X. Teman- teman menjauhiku karena menganggap aku memiliki gangguan jiwa. Kecuali Anti yang sejak kecil sudah mengenalku. Aku sendiri percaya introvert itu karakter bawaan, sama dengan ekstrovert, sama sekali bukan kelainan. Lagian, aku bukan tidak suka keramaian. Yang kuhindari adalah bersenang-senang. Keramaian yang tidak mengundang kegembiraan tidak permah kuhindari. Melayat ke orang meninggal, misalnya. Seramai apapun orang di sana, aku tidak akan terganggu. Namun suasana gembira seperti perayaan kelulusan ini sangat tidak nyaman bagiku.

Acara kelulusan kami dirayakan teman-teman sekelas di kafe. Salah satu orang tua teman mensponsori kegiatan ini. Maka di sinilah aku, mencoba menikmati sepi di tengah keramaian. Aku duduk di samping Anti yang sedang asyik menyeruput kopi. Di depanku secangkir hot chocolate

Kafe semi minimalis ini lumayan luas dan nyaman. Meja-meja terisi penuh. Di sudut ruangan dua pasang cewek cowok sedang bercanda. Satu di antaranya teman sekelas. Yang tiga orang belum pernah aku lihat sebelumnya. Di dekat pintu masuk cowok-cowok asyik bercengkerama sambil sesekali menggoda cewek yang melintas. Pelayan mondar mandir membawa pesanan. Semua wajah terlihat bahagia, kecuali aku. Seandainya aku punya ilmu menghilangkan diri, sudah sejak tadi raib dari tempat ini.

Aku menyenggol lengan Anti, memberi kode agar segera pamit.

"Sabar. Acaranya belum dimulai. Titin belum datang," bisik Anti. Ayah Titin yang menanggung semua biaya acara ini. Ia memang terkenal sebagai Ratu Telat. Ke sekolah saja selalu terlambat, apalagi di acara seperti ini. Terlebih ia tahu pasti acara tidak akan dimulai tanpa kehadirannya.

Selang dua jam, akhirnya Titin muncul dengan dandanan yang begitu mewah. Aku mempererat pegangan tanganku pada Anti.

"Tenang. Tidak akan ada yang mengejekmu sekarang," hibur Anti. Anti bisa mengerti perasaanku. Titin adalah ketua geng yang selalu membullyku. Hanya karena aku dianggap aneh.

"Oh rupanya si Aneh juga datang. Nikmati pestanya, ya Cici!" Salah seorang anggota geng Titin melihatku. 

"Cici? Cici itu Cina yang kaya dan punya banyak pembantu. Kalau ini.. ah," Titin menanggapi kalimat anggota gengnya. Anti berdiri hendak menantang Titin, tapi segera kucegah.

"Kita pulang saja!" ajakku sekaki lagi pada Anti. Kali ini disertai tarikan pada tangannya. Aku sungguh tak ingin lagi berlama-lama di sini. Energiku terkuras mendengar penghinaan mereka dan memaksa hatiku untuk senang. Melelahkan. Titin dan gengnya sudah melenggang ke atas panggung. Aku tahu, perundungan mereka tidak akan berhenti sampai di sini. Segera kutarik Anti untuk meninggalkan tempat tersebut.

Lihat selengkapnya