LILIAN AND HER FEAR

Mira Pasolong
Chapter #3

BAB II. GADIS PEMETIK CENGKEH

Melihat Ibu menyeret kursi rodanya, ada nyeri yang menghentak di hati. Lumpuh yang dialaminya sempat memggoyahkan sendi ekonomi keluarga. Saat itu Kakek sedang sakit keras. Sambil berobat semampunya, Ibu tetap merawat Kakek. Aku yang baru ada di rumah jelang sore hanya bisa membantu ala kadarnya. 

Ketika pertama kali Ibu tidak bisa berjalan, aku menangis sejadi- jadinya. Bagaimana tidak, perempuan tegar yang selama ini tidak pernah sakit tiba-tiba saja lumpuh. Obat dari dokter tidak mempan. Beragam pengobatan alternatif tidak memberi hasil. Belum berselang lama, Kakek sakit dan kemudian meninggal. Pukulan berat yang sekali lagi aku alami.

Apakah aku memang terlahir bukan untuk bahagia? Ibu lumpuh di hari yang membahagiakan. Hari itu penerimaan rapor semester ganjil Kelas X. Aku dinyatakan meraih peringkat 1 Umum. Nilaiku paling tinggi di antara semua siswa di sekolahku. Belum juga berita gembira ini kusampaikan, Ibu sudah diantar tetangga ke puskesmas.

Kebahagiaan semakin menyeramkan bagiku kala Kakek meninggal sebelum menimang piala yang kupersembahkan untuknya. Lagi, untuk kesekian kali aku unggul pada lomba baca puisi. Kali ini aku juara 1 lomba cipta baca puisi dalam ajang FLS2N. Piala itu masih mengantung di tanganku. Tak sanggup melihat Kakek yang sedang diantar syahadat oleh Ibu dan beberapa tetangga. Ya, Kakek sedang sakaratul maut ketika aku pulang dengan membawa piala. Sejak saat itu, aku berjanji tidak akan pernah baca puisi lagi. Ah, mengapa bahagia menjadi serumit ini? 

" Hidup memang tertata berpasangan dan berlawanan. Siang malam, perempuan laki-laki, makan minum, sedih bahagia, miskin kaya. Itu sudah hukum alam. Manusia hanya perlu menjalaninya," nasihat Ibu ketika aku mengadukan kegundahanku.

"Tapi kenapa orang tidak mengalami seperti kita?" protesku.

" Setiap manusia diberi ujian sesuai kemampuannya. Kalau ujian kita berat, berarti Tuhan percaya kita kuat." Ah, binar mata Ibu penuh semangat mengatakannya. Aku menunduk. Tanpa sengaja air bening mengalir dari mataku. Betapa sabarnya Ibu menghadapi rentetan cobaan hidup ini. Tak pernah kudengar keluh kesah dari bibirnya yang selalu tersenyum. Dalam keterbatasan gerak, perempuan yang melahirkanku ini tetap melakukan aktivitas di rumah seperti biasa- memasak, membersihkan dan mengelola kios. Aku hanya membantunya berbelanja ke kota dan memgerjakan pekerjaan rumah seadanya. 

Aku sangat berbeda dengan Ibu. Ibu murah senyum, sememtara aku entah sudah berapa lama tak pernah tersenyum. Menjadi cewek ceria seperti teman- teman seusiaku tentu saja menjadi dambaanku. Namun aku terlanjur ngeri membayangkan apa lagi kesedihan yang akan kualami bila ada kebahagiaan atau kegembiraan yang kurasakan. Pikiran-pikiran itu membuatku betah mengurung diri di kamar. Aku mengunci hati untuk hal- hal indah dunia remaja. Membatasi diri dalam pergaulan adalah caraku menghindari kebahagiaan. Di dunia luar begitu banyak kemungkinan untuk bergembira. Aku lebih nyaman menyendiri, mengukir dunia sesuai imajinasiku. Dunia tanpa warna. 

"Apa enaknya dunia tanpa warna." Anti, sahabatku pernah protes. Aku tersenyum. Ia belum tahu betapa tenangnya dunia itu. Tak ada tantangan, tak ada konflik. Datar seperti lantai dan mengalir bagai air. Damai.

"Dunia penuh warna membuatku tidak siap. Sebentar terang, sebentar gelap. Ah, terang dan gelap masih bisa diprediksi. Tapi bagaimana dengan perasaan? Sekejap bahagia, lalu tanpa disangka berubah sedih."

Kini dunia tanpa warnaku hancur. Aku sedih dengan kondisi Ibu. Duniaku menjadi kelam, hitam. Ingin membantu, tetapi apa yang bisa dilakukan oleh seorang anak yang baru tamat sekolah? Mencari pekerjaan yang cocok tak semudah membalik telapak tangan. 

"Ada pekerjaan, tapi di kampung orang tuaku." Anti datang ke rumah dengan sumringah. Orang tua Anti pendatang di Padang. Kampungnya sekitar 30 kilometer dari Padang. Sebuah perkampungan yang sejuk. Aku pernah diajak Anti ke sana.

"Pekerjaan apa? Tapi tidak mungkin meninggalkan Ibu sendirian."

"Kita bisa bolak balik. Tidak perlu bermalam." Aku menyetujui ajakan Anti. 

"Eh, kamu bisa memanjat, 'kan?" tanya Anti

"Memanjat? Memang kita kerja apa?"

"Memetik cengkeh." Kampung Anti memang penghasil cengkeh. Di kampung tersebutlah orang pertama kali menanam cengkeh. Letaknya di ketinggian dengan hawa yang sejuk membuat tanaman subur. Selain cengkeh, kampung itu juga terkenal dengan melinjonya. 

Namanya Lembang Bau. Sebuah kampung yang terlerak 19 kilo meter dari Kota Benteng. Jalanan menuju Lembang Bau lumayan menguras tenaga. Selain mendaki dan berkelok, juga banyak aspal yang bolong dan jalanannya sempit. Namun Anti meyakinkanku kami bisa berboncengan ke sana.

"Berani?"

Lihat selengkapnya