Aku dibesarkan di pesisir pantai. Setiap hari membaui aroma laut dan ikan-ikan yang dikeringkan. Hawa panas di antara hembusan angin sepoi adalah simponi alam yang harus dinikmati. Anak- anak kecil dengan kulit legam dan rambut kecoklatan terpapar matahari menjadi pemandangan khas.
Hembusan angin di Lembang Bau jauh berbeda dengan di Padang. Angin sepoi dari pucuk- pucuk cengkeh menghantarkan sejuk yang nikmat. Aku berpegangan erat pada tiang tangga setiap kali kesiur angin merapatkan semilirnya. Ayunan tangga membuat jantungku seolah ikut mengalun. Ada ketakutan, tetapi semangatku mampu mengalahkannya. Yang lebih membuatku takut justru pandangan Rabaso yang sejak tadi seperti mengikuti langkahku. Ketakutan yang aneh, karena taatapan itu sangat lembut.
Pekerjaan ini menguji adrenalin. Aku tidak pernah takut tantangan. Kesedihan dan penderitaan telah membersamai perjalanan hidupku. Tak akan membuat gentar. Dengan terus menerus mensugesti diri sendiri, akhirnya aku bisa memanjat hingga anak tangga kesepuluh. Sebuah pencapaian yang memuaskan.
Di sebelahku, Anti juga terus berusaha merangsek naik. Karung penampungan kami sudah hampir penuh. Bunga cengkeh yang lebat menjadi keuntungan tersendiri bagi buruh petik. Tak dibutuhkan waktu lama untuk memetik dalam jumlah banyak.
"Hei, ayo makan dulu," teriak Ra dari atas pucuk pohon cengkeh di depanku. Aku memberi kode pada Anti sebelum mulai menuruni anak tangga satu per satu. Deg- degan juga rasanya menurun sambil membelakang.
Riuh rendah suara para pekerja yang sedang menikmati bekal makan siangnya. Pekerja di kebun Pak Badullah hampir berimbang jumlah laki- laki dan perempuan. Kebanyakan perempuan seusai aku dan Anti. Sebagai orang baru, kami masih malu- malu. Hanya berani melempar senyum, tanpa menyapa.
"Gabung di sini!" teriak Rabaso dari atas batu datar yang lebar. Di sana ia duduk sendiri. Aku menatap Anti ragu- ragu.
"Ayolah! Anti, ajak Lilian ke sini. Kayak orang lain saja," teriak Rabaso sekali lagi. Kali ini suaranya lebih besar. Pandangan pekerja lain mengarah ke kami. Aku merasa tidak enak. Bukankah Rabaso adalah majikan kami? Tidak ada pekerja lain yang dipanggilnya, hanya aku dan Anti. Bahkan aku amati para pekerja itu nampak sungkan dan segan. Setiap lewat di dekatnya, mereka menunduk dan menyapa sesopan mungkin.
"Saya yang ke situ, deh." Rabaso berjalan ke arah kami dengan menenteng rantang bekalnya. Perasaan aneh yang tadi menyerang kini muncul lagi. Jantung berdebar kencang dan keringat dingin mengucur deras. Ada ketakutan yang tidak kumengerti pada setiap detak nafasku.
"Hei, kenapa pucat?" Anti mengamati wajahku kaget. Aku mengeleng.
"Sakit, ya? Capek?" Suara Ra menyela percakapanku dan Anti. Aku mendongakkan kepala. Mata kami bersitatap. Rambut klimisnya kini sudah berantakan. Mungkin karena topi yang tadi dipakainya.
"Tidak apa- apa," kataku sambil berusaha terrsenyum. Rabaso tak lagi bertanya. Ia mengambil tempat duduk di samping kiriku. Anti berada di sebelah kanan. Dengan lincah ia membuka rantang tiga susunya. Lumayan banyak kalau hanya untuk dimakan sendirian.
"Ayo dimakan. Ini sengaja saya bawa banyak karena Bapak tadi bilang lupa menyuruh kalian bawa bekal," ajak Rabaso. Ternyata itu alasan ia membawa banyak makanan. Tanpa diberitahu, aku dan Anti sudah mempersiapkannya. Bibi Erna yang memasakkan untuk kami.
Kami makan dalam diam. Hanya Rabaso yang sesekali bersuara, sekadar mempersilakan kami mengambil lauk yag dihidangkannya.