Aku merasakan perhatian Ra semakin intens. Entah untukku atau untuk Anti. Hampir tiap malam ia berkunjung ke rumah Bibi Erna. Membantu kami menyiangi bunga- bunga cengkeh hasil panen hari itu, atau sekadar membawa buah tangan dan langsung pamit pulang. Aku bukan cewek yang mudah GeEr. Mungkin ia memang terbiasa datang ketika Anti ada Lembang Bau. Bukan karena menganggap aku spesial. Boleh jadi perhatiannya padaku karena aku temannya Anti dan orang baru di kampung mereka.
Setiap kali Ra datang, ada kilatan bahagia dari cahaya mata Anti. Pipinya kadang bersemu merah. Aku ingin usil menggodanya, tetapi meskipun bersahabat, kami tidak pernah saling mencampuri urusan perasaan, kecuali kalau dimintai pendapat.
"Dapat berapa kilo biasanya sehari, Li?" tanya Ra. Matanya tetap fokus pada cengkeh yang sedang dimasukkan ke karung. Tangannya spontan terulur melihat aku ingin menumpahkan bunga cengkeh tersebut ke dalam karung. Katanya biar ia saja yang mengerjakan.
"Paling banyak 15 kilo. Rata- rata 10 an kilolah. Lumayan," jawabku.
Di samping Ra, Anti sedang melakukan hal yang sama, memasukkan cengkeh ke dalam karung, sambil bersungut- sungut tidak jelas.
"Uh, beraat," sungutnya. Aku berdiri hendak membantu memegang karung, supaya ia leluasa menumpah cengkeh dari nampan.
"Tidak usah," sergahnya. Aku beringsut ke belakang. Heran dengan sikapnya yang mendadak judes.
"Pakai gayung atau apa menumpahnya, jadi sedikit- sedikit, biar tidak berat," saran Ra. Anti diam tak menanggapi.
Sepanjang malam Anti cuek. Kami yang biasanya berbagi cerita apa saja sebelum tidur, kini tenggelam dalam lautan pikiran masing- masing. Aku mengingat- ingat kembali kejadian sepanjang hari yang mungkin membuat Anti tersinggung atau marah.
Aku membolak balikkan badan. Anti tidur membelakangiku. Sepertinya ia masih terjaga, tetapi berpura- pura tidur mungkin lebih baik baginya. Sungguh tidak nyaman berada dalam kondisi seperti ini.
"Anti, ada apa?" Pelan kutepuk pundak Anti agar berbalik ke arahku. Aku berinisiatif membuka percakapan. Tak ada jawaban. Tarikan napas yang belum teratur membuatku yakin Anti masih terjaga. Sekali lagi kutepuk pundaknya.
Aku mengenalnya dengan baik. Bila marah ia tidak akan pernah mendahului berbicara atau mengajak baikan. Mau ia yang benar atau salah, tetap saja tidak akan sudi berdamai duluan. Namun jika kita yang memulai, tidak butuh waktu lama untuk membuatnya melupakan kemarahannya. Sebesar apapun itu. Ternyata kali ini lain. Anti tetap bergeming.
"Kalau saya ada salah, saya minta maaf. Apapun kesalahan saya, yakinlah itu bukan suatu kesengajaan." Kuputuskan untuk terus bicara. Terserah ia mau menanggapi atau tidak, yang penting ia mendengar apa yang saya sampaikan.
"Tidak nyaman seperti ini, Nti. Kita sudah lama berteman. Bicaralah kalau ada masalah. Kita selesaikan sama- sama," sambungku. Anti membalikkan badan, lalu bangkit. Ia duduk bersandar di kepala dipan. Matanya nanar menatapku. Rasanya ingin kupadamkan lampu kamar agar tidak melihat tatapan mematikannya itu. Kelembutannya entah hilang ke mana. Ini untuk pertama kalinya Anti semarah itu padaku.
"Saya tidak suka melihat kamu dekat- dekat Kak Ra," katanya dengan suara ketus. Aku tersenyum. Ada perasaan yang tidak bisa kuterjemahkan dalam hatiku. Nyeri, tetapi lega.
"Astaga, memangnya kenapa? Perasaan saya biasa saja ke Kak Ra," sanggahku.
"Kamu biasa- biasa saja. Kak Ra yang tidak. Pokoknya kalau masih menganggap saya sahabatmu, tahu diri saja." Aku menghela napas berat. Tidak menyangka ternyata sahabatku ini menyukai Ra.
"Kamu cemburu? Ya Allah, Anti. Saya kan baru kenal Kak Ra. Tenang saja. Saya masih Lilian yang dulu, yang tidak akan berani jatuh cinta," tandasku.