Rabaso
Namaku Rabaso. Teman- teman memanggilku Ra. Orang tuaku lebih suka memamggilku Baso. Menurut orang tuaku, Rabaso berarti anak laki- laki yang lahir hari Rabu. Baso dalam bahasa Selayar adalah panggilan bagi anak laki- laki.
Takdir baik memihak padaku sejak lahir. Aku anak tunggal dari orang tua terkaya di kampung. Semua memanjakanku meskipun tak yakin menyayangiku. Boleh jadi mereka baik hanya karena ingin dianggap baik oleh orang tuaku. Aku tidak peduli siapa yang tulus, siapa yang bulus. Asalkan keinginanku terpenuhi, yang lain tidaklah penting.
Aku baru saja disematkan toga penamatan. Jurusanku seni lukis. Anehnya sekarang aku tidak pernah lagi melukis. Aku sibuk mondar mandir keliling kebun orang tua yang luas. Kadang ada kerinduan mengusik untuk bermain- main dengan kuas dan warna di atas kanvas. Namun entah mengapa, sangat sulit memulainya. Ada satu peristiwa menyedihkan yang tiba- tiba membuat tanganku terasa kaku memegang kuas.
Kuambil lukisan sepotong hati yang tergeletak begitu saja di samping meja belajar. Berbulan- bulan lamanya lukisan itu terbengkalai. Beberapa kali bahkan sudah kubuang ke tempat sampah. Lalu kupungut lagi. Terkadang ingin menyelesaikannya, entah kapan. Namun sering pula ingin membiarkannya tetap seperti itu. Gambaran hatiku yang kini tersisa separuh sejak cewek yang pernah memintaku melindunginya, justru mencari perlindungan pada cowok lain.
Hingga aku bertemu seorang gadis imut berwajah oriental. Ia selalu menunduk. Tak pernah menatap lawan bicara. Ia betah berjam- jam duduk sendirian di atas batu, tetapi akan berubah gelisah saat berada di tengah orang banyak. Mungkin karena sifat pemalunya.
Aku cowok acuh yang tampil apa adanya, berubah menjadi memperhatikan penampilan sejak cewek itu ada di hari- hariku. Namanya Lilian. Senyumnya menyembul diam- diam saat pertama kali mata kami bersitatap. Dan hatiku berkata aku jatuh cinta padanya. Tiba- tiba saja lukisan sepotong hati itu ingin segera kusempurnakan. Bersama cewek bermata sipit itu, tentu saja.
***
Sejak di perjalanan ke kebun, aku perhatikan Lilian tidak secerah biasanya. Wajahnya pucat. Aku ingin bertanya, tetapi ia seolah sengaja berjalan cepat- cepat, meninggalkanku dan Anti di belakang. Anti asyik berkicau di sampingku. Sesekali aku mengiya atau ikut tertawa, meskipun fokusku tetap pada cewek berkulit kuning langsat beberapa meter di depan.
Melihat senyumnya selalu mencipta debar indah di hatiku. Ia yang pendiam, tetapi tetap menanggapi jika diajak bicara. Ia yang pekerja keras. Ah, aku susah menggambarkan kekagumanku pada sosok ramping berjilbab itu. Oya, aku suka melihat wajah orientalnya dibalut kerudung. Pemandangan unik.
Lilian. Mataku nyaris tak berkedip saat pertama kali melihatnya. Malam itu ia bersama Anti dan Bibi Erna menemui bapakku. Aku urung ke ruang tamu melihat ada cewek cantik yang sedang bertamu. Dari balik gorden kuintip sosok bermata sipit itu. Menarik. Itu yang pertama terlintas di benakku. Setelahnya jantungku tiba- tiba berdetak lebih cepat dari biasanya. Bak kejatuhan bulan saat bapakku meminta aku menemani Anti dan cewek itu ke kebun keesokan harinya. Semalaman aku tak bisa tidur. Wajah imut dan senyum manisnya terbayang terus.
Aku agak kecewa ketika keesokan harinya mengajak kenalan dan ia tidak menerima uluran tanganku. Bahkan namanya pun Anti yang menyebutnya. Lilian. Nama yang sudah menjawab mengapa wajahnya tidak seperti kebanyakan wajah orang Selayar.
Aku yang biasanya hanya datang ke kebun untuk mengecek siapa yang tidak masuk kerja, kini justru memilih seharian di kebun. Bukan itu saja, aku bahkan ikut memanjat. Tatapan heran pekerja- pekerja tidak kuhiraukan. Untuk bisa melihat cewek pendiam itu aku harus tetap di kebun.
Memandanginya dari jauh menjadi kebiasaan baruku. Seharian bersama- sama di kebun, makan bersama, salat berjamaah, memanjat pohon cengkeh yang sama, belum cukup bagiku. Malam hari aku harus mengunjunginya. Perhatian- perhatian kecil kuberikan di saat yang tepat.