Lilian
Menyendiri selalu membuatku nyaman. Selama ini aku berusaha menikmati keriuhan di kebun dengan sesama pekerja. Senyum selalu pula kusempilkan di antara obrolan kocak keluarga Bibi Erna. Namun saat berada di kamar, di samping Anti yang sudah terbang ke alam mimpi, aku merasa itu bukan diriku. Aku tersiksa di antara keramaian. Di kamar ini, saar Lembang Bau sudah merupa kota mati dan yang tersisa hanya lolongan anjing, aku merasai kesendirian. Menikmati kesiur angin yang masuk melalui celah dinding papan. Aku menemukan ketenangan. Kadang lamunanku yang sudah memgangkasa dibuyarkan Anti yang tiba tiba terjaga.
Jelang dua bulan di kampung orang, aku merindukan suasana Padang. Senyum sumringah Ibu tiap menyambutku di pintu. Wajah memohon perempuan itu dari atas kursi roda saat aku mengatakan tak ingin kuliah. Aku merindukan kamarku, tempat kularung segala duka, ruang aku mengarungi imajinasi di atas kertas dan kanvas. Aku ingin pulang.
Lembang Bau kembali diriuhkan kokok ayam di pagi buta. Suara langkah kaki terdengar dari jalanan depan rumah. Para buruh petik cengkeh sedang menuju kebun. Aku masih membungkus badanku dengan selimut. Anti juga nampak sudah siap berangkat. Sejak kejadian aku pingsan, Anti masih memilih pelit bicara denganku. Sesekali aku yang membuka percakapan. Namun lebih sering kami melakukan aktivitas bersama dalam diam.
Selama ini memang Anti yang selalu memulai pembicaraan. Sebagai orang yang dijuluki intorvert, aku kuramg terampil meramu perbincangan seru. Dinginnya sikap Anti membuat gap di antara kami melebar.
"Anti, maaf, aku agak demam. Izin tidak ke kebun dulu, ya," kataku begitu melihat cewek bertinggi badan sedang itu melangkah keluar kamar. Ia menoleh sekilas ke arahku, tanpa menjawab.
Aku sendirian. Suasana yang lama kurindukan. Bergegas kubuka selimut, merapikan tempat tidur, mandi dan kembali ke kamar. Sayang sekali tidak ada alat tulis sehinga aku tidak bisa menulis atau menggambar.
"Assalamu alaikum." Suara salam terdengar bersamaan dengan ketukan di pintu rumah. Aku memakipai jilbab sekenanya lalu bergegas membuka pintu.
"Kak Ra?"
"Kata Anti kamu sakit?"
"Hanya kurang enak badan. Maaf, Kak. Hari ini tidak ke kebun."
"Saya sudah bilang, kalau sakit tidak usah pikirkan pekerjaan. Istirahat saja."
"Iya. Makasih. Sekarang saya istirahat."
"Tidak dipersilakan masuk ini?" Pertanyaan Ra membuatku tersadar. Ia masih berdiri di anak tangga terakhir, sementara tubuhku menutupi pintu.
"Eh, maaf, Kak. Di teras saja, ya," kataku sambil berjalan duluan ke teras.