Lilian
Aku cewek peranakan Tionghoa- Melayu- Selayar yang senang menyendiri. Adaptasi dengan lingkungan atau orang baru merupakan siksaan bagiku. Karena itulah, aku lebih suka berdiam diri di rumah dibandingkan beraktivitas di luar. Aku bahkan sangat jarang silaturahim ke keluarga Ibu. Sebagian keluarga yang tidak paham menganggapku sombong. Padahal apa yang harus disombongkan? Semua yang kita miliki di dunia ini hanyalah titipan.
Efek ketidaknyamanan terhadap hal- hal baru membuat aku berhari- hari grogi hingga mencret sebelum memutuskan menerima tawaran Anti untuk kerja sementara di Lembang Bau. Bayangan harus bertemu dengan banyak orang tiap saat, tinggal di rumah keluarga Anti yang baru kukenal, berkenalan dengan sesama pekerja membuatku sungguh tersiksa.
Untunglah kekhawatiran- kekhawatiran tersebut tidak sepenuhnya terbukti. Keluarga Bibi Erna berhasil membuatku nyaman tanpa perlu penyesuaian. Mungkin karena mereka ikhlas menerima kedatanganku. Sesama pekerja di kebun Pak Badullah pun tak seperti yang ada dalam bayanganku. Mereka tidak gila urusan dan hanya menyapa seperlunya. Aku tak perlu pura- pura berakrab ria dengan mereka.
Jika ada yang mengganggu, itu adalah kehadiran Rabaso, anak pemilik kebun. Sifatnya yang dominan mempengaruhi orang lain membuat aku harus berusaha terbiasa disapa, ditanyai dan diperhatikan. Hal- hal yang selama ini selalu membuat risih. Syukurlah pada akhirnya aku bisa beradaptasi. Sapaan- sapaan dan perhatiannya kemudian menjadi candu. Ketidaknyamananku kini sudah berubah menjadi kenyamanan.
Namun sebagaimana yang sudah kuduga, rasa nyaman tidak akan pernah bertahan lama di hatiku. Saat rasa itu perlahan mampu kudefinisikan, aku tidak boleh menutup mata akan kehadiran Anti. Sahabatku ini menyukai atau mungkin mencintai Rabaso. Tak ada alasan bagiku untuk merampas kebahagiaannya sementara aku sendiri belum siap bahagia.
Hari ini, untuk kesekian kalinya aku tidak pergi kerja. Alasanku tentu saja sakit. Kupandangi kamar berdinding papan yang hampir dua bulan ini kutempati. Tak banyak isi kamar berukuran 12 meter persegi ini. Ranjang besi dengan cat yang sudah aus memanjang dari utara ke selatan. Di sisi kirinya meja konsol kecil dari rotan. Pada dinding di atas meja tertempel cermin bundar yang hanya pas buat wajah. Tak ada lemari sehingga tas pakaian kami letakkan di sudut kamar di atas sebuah meja plastik.
Aku mengangkat tas pakaian berwarna coklat milikku. Di sampingnya tas merah muda Anti tergembok rapat. Kurapikan isinya. Pakaian- pakaian yang baru saja kucuci tadi pagi kuambil dari jemuran. Masih setengah kering. Tak apalah. Nanti bisa dijemur kembali. Tak sampai 30 menit semua barangku telah kubereskan. Sekali lagi kuamati sekeliling kamar, khawatir ada yang tertinggal. Setelah yakin semua sudah dalam tas, aku keluar kamar.
Bibi Erna kebetulan pulang lebih cepat hari ini. Aku mengikuti perempuan limapuluhan tahun tersebut ke dapur. Biasanya untuk membantunya menyiapkan makan siang. Namun kali ini lain.
"Sudah baikan?" sapanya.
"Iya, Bi. Saya mau izin pulang ke Padang dulu. Mau jenguk Ibu sekalian istirahat biar cepat pulih." Aku memulai rencanaku.
"Mendadak, ya? Anti juga ikut?"