Lilian
Apa yang bisa dilakukan cewek kurang pergaulan sepertiku selain mengurung diri di kamar? Selain pelukan Ibu, kamar menjadi tempat ternyaman untuk menyandarkan seluruh keluh. Entah berapa kali sehari ruangan berpenerangan lampu neon 24 watt ini aku kelilingi. Naik turun tempat tidur, duduk di sofa dan bercermin tanpa bermaksud membubuhkan riasan ke wajah. Lelah di depan cermin, kanvas jadi sasaran berikutnya. Jemariku dengan lincah meliuk di atas medan lukis berukuran 30x 50 cm.
Bercengkerama dengan aneka warna cat bisa membuatku lupa segalanya. Bahkan sering ketukan Ibu di pintu kamar terabaikan. Hatiku riuh sendiri setiap kali berhasil menggoreskan keindahan di atas bidang berwarna putih itu. Lega. Segala isi hati merupa coretan indah.
“Mau diapakan itu lukisan- lukisan?” tanya Anti suatu hari. Aku menggeleng. Puluhan lukisan yang bersandar santai di empat penjuru kamarku hanya kubiarkan diam mematung. Benda penuh warna itu menjadi teman yang bisa kuajak mengobrol setiap saat. Tanpa banyak protes seperti Anti. Ah, kelebat bayang wajah hitam manis itu menggoreskan ngilu di hati. Entah bagaimana menyusun kembali kastil persahabatan yang kini disileti retak.
Hujan mengguyur tanah Padang sejak siang. Semakin lama semakin deras. Aku mengintip dari jendela. Ranting srikaya meliuk tertiup angin. Bulir air yang menetes di hijau daunnya seolah menera kata bahwa di balik gempuran air dari yang menderas dari langit, tetap terselip kesejukan.
Pandanglah dedaunan itu, lalu nikmati irama hujan yang jatuh membasahi tanah. Lihatlah ke atas langit. Apa yang kau rasakan? Bagiku, hujan bulan Juni penuh kepedihan, juga rindu yang sering datang bertalu tanpa diminta. Ayah meninggal di bulan Juni. Disusul Kakek beberapa tahun kemudian, juga di bulan Juni. Keduanya berpulang diiringi desiran air hujan. Kini, hatiku bimbang dengan rasa tak jelas ini. Rasa yang juga mulai tumbuh di bulan Juni.