LILIAN AND HER FEAR

Mira Pasolong
Chapter #11

X. MENYATAKAN CINTA

Rabaso

Semakin hari hatiku semakin yakin, kebahagiaanku adalah bersama Lilian. Ini bukan cinta monyet, bukan pula sekadar bucin- bucinan ala anak- anak zaman now. Perasaan yang kini bertahta di hatiku murni adalah rasa cinta. Aku harus memperjuangkannya. Apa gunanya berbadan kekar jika menghadapi senyum manis seorang cewek saja langsung lemas tak bertulang? Untuk apa bertampang sangar kalau menyatakan cinta saja tidak berani?

Kokok ayam masih riuh bersahutan ketika aku mengeluarkan mobil dari bagasi. Tak kuhirau kabut yang masih menutupi seantero kampung. Mama bergegas ke depan mendengar suara mobil.

“Mau ke mana subuh- subuh?” teriak Mama. Aku sudah bersiap berangkat.

“Ke kota sebentar, Ma. Ada urusan.” Aku berangkat setelah tidak ada lagi pertanyaan dari Mama. Dari dalam rumah kudengar Bapak berteriak memanggil. Pasti mau dibuatkan kopi, seperti biasa.

Senyum kecil menyembul dari bibirku mengingat kebiasaan- kebiasaan kecil Bapak dan Mama. Ritual sederhana yang mengeratkan cinta mereka hingga 25 tahun. Bayang Lilian melintas. Tersenyum usil mengganggu kestabilan emosiku. Mengingatnya selalu membuat pikiran tidak bisa fokus. Aku menggeleng, berniat mengusir bayangan cewek cantik itu. Namun bayangannya semakin jelas. Ah, Lilian, aku akan memperlakukanmu jauh lebih indah dibanding Bapak memperlakukan Mama.

Mobil kutancap hingga 100 kilometer per jam. Beberapa kendaraan yang berpapasan denganku membunyikan klakson dengan nada tinggi. Tentu saja mereka kesal karena di jalan yang hanya berukuran lebar lima meter ini ada kendaraan yang membalap tanpa peduli kendaraan lain. 

Jarak Lembang Bau- Padang terasa sangat jauh. Debar di dada berpacu kencang melebihi laju kendaraan. Ini membuat kerja jantungku meningkat beberapa kali lipat. Bulir- bulir keringat mengucur di seluruh tubuh. Sesekali tanganku bergerak mengusap dahi yang mulai basah. Air Condition mobil ini tak mampu menahan rasa panas. 

***

“Ada apa, Kak?” Anti terperangah saat melihatku muncul di pintu rumahnya. Aku menerobos masuk tanpa menjawab keheranannya.

“Eh, main masuk- masuk saja. Nih di sini tuan rumahnya,” protes Anti. Dengan cuek aku mengempaskan pantat di kursi tamu. Pegal juga menyetir tanpa henti 30- an kilo. 

“Kak, ada apa?” Kerutan di dahi Anti menunjukkan ia masih terheran- heran dengan sikapku. Entah mengapa rasa jahilku tiba- tiba muncul melihat ekspresinya.

“Kalau ada tamu disuguhi teh, bukan diwawancarai,” kataku. Cewek hitam manis itu menuju dapur sambil bersungut.

Aku meletakkan tangan di dahi. Mataku menatap langit- langit rumah berwarna biru muda. Sarang laba- laba menghiasi beberapa titik. Jantungku masih saja bertalu tak karuan. Kini aku berada sangat dekat dengan Lilian. Entah di bagian mana rumahnya. Rasanya tak sabar ingin segera menarik tangan Anti untuk mengantarku ke sana. 

Namun aku ingin terlihat sempurna di mata cewek bermata sipit itu. Segelas es teh manis mungkin bisa sedikit menyegarkanku. Anti datang membawa secangkir teh pesananku. Wajahnya sudah agak santai. 

“Antar saya ke rumahnya Lilian,” todongku begitu Anti duduk di kursi.

Lihat selengkapnya