LILIAN AND HER FEAR

Mira Pasolong
Chapter #1

PROLOG

PROLOG

Namaku Lilian. Waktu kecil aku merasa menjadi anak paling bahagia di kampung. Ayahku yang asli Tionghoa adalah pengusaha kapal ikan terbesar di kampung kami, Padang. Padang merupakan daerah pesisir, tidak begitu jauh dari Benteng, ibukota Kabupaten Kepulauan Selayar. Pulau Selayar terletak di ujung selatan pulau Sulawesi dan masuk daerah administratif Sulawesi Selatan. 

Padang dulunya adalah kampung kecil yang tidak begitu dikenal. Belakangan, ketika pariwisata di Selayar mulai diperhatikan, barulah Padang menjadi daerah terbuka. Padahal aku sangat bangga menjadi orang Padang. Padang itu kampung tua yang unik. Menurut penuturan Kakek, orang tua dari Ayah, Kampung Padang dibuka pertama kali oleh Baba Desang, seorang keturunan Tionghoa dari Gowa. Tak lama kemudian, Padang menjadi ramai, termasuk juga dihuni oleh perantau dari Melayu. Baba Desang adalah pemilik kapal besar. Jangkar kapal itu berukuran dua meter dan sekarang dijadikan sebagai benda bersejarah. Selain jangkar, ada pula meriam kuno. Saat ini sudah ramai wisatawan yang berkunjung ke Padang karena ingin melihat dua benda tersebut. 

Aku dibesarkan dalam dua budaya yang berbeda. Etnis Tionghoa dengan watak pekerja kerasnya dan etnis Melayu dengan spritualitas yang tinggi dipadu darah Selayar yang ramah dan terbuka. Aku bersyukur dengan perpaduan itu. Keluargaku menjadi sangat harmonis di tengah kedinamisan. Adaptasi dengan penduduk lokal sama sekali tidak ada karena kami sendiri merasa sebagai penduduk lokal. Bukankah orang pertama yang membuka kampung ini adalah seseorang yang berdarah Tionghoa? Maka aku selalu memperkenalkan diri sebagai orang Selayar, meskipun kadang orang heran dengan bentuk mata dan warna kulitku. 

Oya, Ayah biasa disapa dengan panggilan Baba Lion. Ayah seorang Cina yang loyal, tidak kikir meskipun tetap penuh perencanaan dalam hal keuangan. Itulah yang membuat perekonomian kami tidak pernah bermasalah. Waktu kecil, setiap kali Ayah ke Benteng, aku selalu dibelikan lolipop. Banyak. Untuk kubagi-bagi ke teman-teman. Mereka setiap hari main ke rumah dan sangat senang ketika kubagikan lolipop. Teman-temanku ada yang peranakan Cina seperti aku, ada pula keturunan Melayu, dan tentu saja asli Selayar. Namun sekali lagi, kami hanya tahu bahwa kami orang Selayar, tak peduli darah apapun yang mengalir di tubuh kami. 

Sementara Ibu adalah wanita pribumi yang sangat lembut, patuh pada suami dan taat menjalankan ajaran agama. Dari Ibu aku belajar menjadi perempuan yang tabah, sabar, tetapi juga tegas. Kelembutan dan sifat sensitif juga menurun dari Ibu. Sepertinya Ayah dan Ibu sudah berbagi tugas dalam mendidikku. Ayah dengan keloyalannya menuruti apapun yang aku mau -dengan syarat, sementara Ibu dengan kebijaksanaannya mengajarkan aku mana keinginan yang harus dipenuhi, mana yang sebaiknya dipendam saja. Karena itulah aku bukan anak yang terbiasa meminta hal tidak penting meskipun Ayah pasti mengabulkannya. 

 Di kampungku ini, anak-anak sebagian memanggil ibunya dengan sebutan ammak atau indo'. Aku juga tidak tahu mengapa aku memanggil ibu. Begitu pun panggilan ayah tidak lumrah bagi keturunan Tionghoa. Namun aku suka panggilan itu. Aku semakin merasa menjadi warga pribumi. 

Ayah dan Ibu jarang ke mana- mana. Palimg sering hanya ke Kota Benteng untuk belanja kebutuhan bulanan, barang kios dan perlengkapan kapal. Untuk kebutuhan sehari-hari terutama makanan, Ibu belanja di Pasar Padang, yang hanya dua langkah dari pintu pagar. Rumah kami dengan pasar hanya dibatasi jalanan beraspal selebar dua meter. Selebihnya, Ayah dan Ibu hanya di rumah, menunggu kapal pulang berlayar sambil menjaga Kios Nelayan yang dikelola Ibu. Kios Nelayan menjual segala macam alat melaut, juga onderdol kapal. 

Setiap kali kapal ikan Ayah berlabuh di dermaga, aku selalu menjadi orang pertama yang menyambut. Ayah, dengan tubuh gempalnya, menyusul di belakangku. Dengan lincah aku membantu para awak kapal menurunkan termos- termos dan kontainer berisi ikan. Ayah biasa bilang aku tidak membantu, tetapi malah merepotkan. Mana sanggup lengan kecilku mengangkat termos yang beratnya minimal 20 kilogram? Namun tetap saja aku di situ, tidak mau pergi sebelum dikasih uang lima ribu sebagai upah. Ya, upah itulah yang membuat aku selalu menunggu kedatangan kapal.

"Kalau kamu olang mau sukses, halus kelja kelas." Begitu selalu kata Ayah dengan lidahnya yang cadel. Kebanyaan keturunan Tionghoa memang susah menyebut huruf R. Untunglah lidahku mengikuti Ibu yang berdarah Selayar- Melayu (Riau). Ayah juragan ikan paling kaya dan disegani. Setiap kapalnya merapat di Dermaga Padang, penjual ikan dari Padang, Bemteng dan sekitarnya sudah menunggu. Tak sampai satu jam, berton-ton ikan ludes. 

Aku bahagia dengan kehidupanku. Ayah Ibu yang harmonis dan Kakek yang sangat penyayang. Kami memang tinggal bersama Kakek, lelaki bermata sipit yang sangat disegani. Seluruh kekayaan Ayah adalah milik Kakek, karena Ayah anak tunggal. Ayah meneruskan usaha kapal ikan Kakek hingga berkembang seperti sekarang. Orang- orang di kampung memanggil Kakek dengan nama Baba Oceng. Isteri Kakek Oceng, juga Tionghoa asli, meninggal ketika aku belum berumur setahun.

Ibu juga sering bercerita tentang orang tuanya. Kakeknya yang berdarah Riau, tetapi nenek moyangnya sudah tinggal di Selayar sejak sebelum Indonesia merdeka. Oya, nama Padang, kampungku ini identik dengan nama kota di Sumatera karena keterkaitan sejarah ini. Orang-orang Melayu berlayar dan singgah di Selayar. Sebagian menetap. Mereka inilah yang kemudian kawin mawin dengan penduduk lokal, seperti kakek nenekku. Kebanyakan migrasi Melayu ini karena kebutuhan perdagangan ataupun penyiaran agama. Bahkan menurut sejarah, yang pertamakali membawa ajaran agama Islam ke Selayar adalah Dato Ri Bandang dari Minangkabau. Selain Melayu dari Minangkabau, juga ada dari Malaysia, dan Patani Thaland. Ini sekaligus bukti bahwa Selayar sejak dulu adalah daerah terbuka. 

Darah Selayarku kuperoleh dari Nenek, ibunya Ibu. Aku tidak pernah bertemu dengan kakek nenek dari pihak Ibu karena mereka sudah meninggal sebelum aku lahir. Namun begitu, cerita tentang mereka sering aku dengar. 

Bila ingin melihat asimilasi kultur yang sesungguhnya, keharmonisan Ayah Ibu bisa menjadi model. Mungkin karena mereka sudah sama-sama lahir dan besar di Selayar, sehingga tak ada kesenjangan budaya yang mereka rasakan. Ayah dengan ketegasan, penghematan dalam keuangan dan kepiawaiannya berdagang, mampu menyesuaikan dengan kebiasaan Ibu yang berbelanja apapun yang dibutuhkan tanpa memandang harga. Ibu lebih mementingkan kualitas dibanding harga. Kesederhanaan Ayah juga menjadi nilai lebih bagi Ibu, yang pada akhirnya diikutinya. Ibu termasuk perempuan stylis di masa gadisnya, tetapi ia bisa menyesuaikan dengan kesederhanaan Ayah yang terbiasa hanya bercelana pendek dan berkaos oblong. Ibu pada akhirnya terbiasa hanya memakai daster, bahkan saat melayani pembeli di warung nelayan. Keduanya pun berbahasa Selayar. 

Oya, selain pendapatan utama Ayah dari kapal ikan, penghasilan keluarga kami juga berasal dari Kios Nelayan. Penghasilannya tidak sebesar penghasilan dari kapal, tetapi sangat mencukupi untuk biaya sehari-hari. Ibu memegang keuangan kios, sementara Ayah mengatur pemasukan dan pengeluaran kapal ikannya, Ayah jugamengajari Ibu bagaimana membuat pembukuan kios tersebut. Lambat laun kios nelayan menjadi ramai. Nelayan di kampung Padang hampir semuanya tidak lagi berbelanja kebutiha melautnya di Benteng, tetapi cukup di kios nelayan Ibu. Bagi mereka lebih hemat karena tidak perlu biaya transportasi. Harganya pun tidak selisih banyak. 

***

Lihat selengkapnya