Alkisah di sebuah ruangan, terang temaran dari bola lampu 10 watt. Ruang berukuran tak lebih dari 3 x 4 meter persegi. Perabot rumah segala rupa ada, berserakan tak tertata. Piring-piring kotor belum dicuci menumpuk di pojokan bertetangga dengan pakaian yang bernasib sama. Selimut dari selembar kain jarik menutupi dua bersaudara, menjaga mereka dari dingin yang masuk menyelinap melewati sela-sela jendela. Jendela yang sudah tidak bisa ditutup rapat karena struktur bangunan utama yang retak akibat dari tanah yang tergerus air dibawahnya.
Subuh hari, dua manusia sudah terjaga dari tidurnya meninggalkan si kecil menikmati leluasanya ia memakai kain jarik itu, menutupi tubuhnya yang mungil, menutupnya hingga melewati kepala.
“Pagi-pagi kok sudah melamun,” kata sang Ibu.
“Aku ingin sekolah,” jawab si anak tanpa menoleh ke sumber suara.
Pandangannya lurus menembus kaca jendela. Walaupun di luar masih gelap, tapi yang ia lihat adalah halaman sekolahnya, teman-temannya, guru-guru, satpam sekolah, para penjaga kantin, dan gerbang sekolah yang dicat hijau tempat ia dulu diturunkan ayahnya setiap pagi ketika mengantarnya pergi. Ia membayangkan suasana sekolah yang sudah lama tak dirasakannya lagi.
Hanya senyuman tulus dan usapan tangan kasar dipunggungnya yang nyata ditangkap sang anak sebagai sebuah ajakan,“ayoklah, itu percuma, mari lanjutkan hidup ini.”
-o0o-
Usia si bungsu baru saja 11 bulan saat itu. Sinar matahari adalah santapan utama selain ASI dari ibundanya. Sang kakak belum 5 tahun, tapi sudah pandai bicara. Bicara apa saja. Bertanya apa saja. Dan kadang-kadang juga menjawab apa saja. Semaunya, sesuai kehendaknya. Pagi ini mereka bertiga sudah siap dengan sebuah kursi plastik berkaki rendah.
Hidupnya sempurna. Setidaknya ini lah yang Ia impikan sejak dulu. Hidup sederhana. Dua anak yang sehat-sehat, istri yang begitu baik, dan ekonomi yang cukup. Mereka memang memutuskan sama-sama tidak terobsesi dengan harta benda karena banyak tanggungjawab dan bebannya.
Sang ayah, yang senang dipanggil Abah, menggendong si kecil duduk di atas kursi berwana merah itu, sedangkan kakaknya berdiri dengan baju tidur yang belum diganti. Mereka kompak dalam hangat, mengucap syukur atas anugerah pagi yang sebagian dari kita semua mungkin dengan sengaja atau tidak sengaja, atau secara terpaksa tidak bisa mendapatkannya.
Lalu datang dari arah belakang, dengan nampan berisi segelas kopi, mangkuk sarapan berisi bubur ayam, dan satu botol dot berisi ASI hasil marmet (Teknik Marmet). Ketiganya kini sama-sama mengisi perut dengan menunya masing-masing.
Lalu datang dari arah depan, dua orang yang mengetuk pintu pagar dan bilang permisi. Mereka bukan mau meminta uang, mereka bukan pengemis, mereka bertanya adakah barang-barang bekas atau sampah botol plastik yang bisa mereka bawa.
Wajahnya oval dengan mata gelap dan besar. Alisnya tipis tapi panjang sempurna. Hidungnya tidak mancung memang, tapi tulang hidungnya jelas. Ada lesung di pipi sebelah kanan. Rambutnya dikuncir satu kebelakang dengan warna alami dari paparan sinar matahari.
Sambil menggendong bayi, sang istri mendekati ibu tadi, lalu mereka terlihat berbincang membicarakan sesuatu. Sang anak di belakang si ibu mengintip dari balik kakinya. Sorot matanya tajam menerawang, beradu dengan mata si Abah dan anak perempuannya. Lelaki yang sudah cukup memakan asam garam kehidupan sangat mengerti makna tatapan itu.
Sampai saat mereka pergi, tak ada interaksi apapun dari anak itu. Tapi Pandanganya yang tajam seakan meninggalkan sebuah kesan mendalam.
“Ngobrolin apa Bu?”
“Engga, cuma nawarin sarapan sama bilang kalau kita gapunya barang-barang yang mereka cari,” jawabnya.
“Nak, tadi lihat kakaknya ga? Cantik ya?” tanya si ibu ke anak pertamanya.
“Cantik Bu, tapi ...,” anak nya menghetikan kalimatnya karena keburu melihat sorot mata bapaknya.
-o0o-
Andai ayahnya masih ada. Andai saja semuanya berjalan normal, andai pagi ini hujan gerimis. Tidak perlu ia iri pada keluarga-keluarga dan rumah-rumah yang dilewatinya. Tak perlu ia marah atas kondisi diri dan keluarganya.