Di sebuah desa termiskin di timur Pulau Jawa. Mata pencaharian utama masyarakatnya adalah bertani dan berdagang. Hiduplah sepasang suami-istri. Mereka menjalani kehidupan sederhana karena dari apa yang mereka dapat hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok saja. Jangankan menabung, untuk bisa makan sampai esok hari saja sudah bagus.
Perkawinan di usia muda sudah lumrah di desa itu. Apa itu cinta? Para orangtua berpikir semakin cepat menikah semakin berkurang tanggungan dan beban keluarga. Pasangan yang menikah juga berpikir bahwa setelah menikah beban hidup akan lebih ringan karena ditanggung berdua. Cinta dan sayang, serta rasa peduli akan hadir seiring kebersamaan yang dilalui dari hari ke hari.
Jumat dini hari tanggal 10 September 2010 lahir seorang anak perempuan dari pasangan 19 dan 22 tahun umurnya. Di dalam bilik sederhana dan penerangan yang sederhana juga. Tangisan bayi yang memecah kesunyian malam memberikan senyum pada ibunya, tapi tidak dengan sang bapak.
Sejak mengetahui bahwa istrinya hamil, si suami selalu berharap dan bermimpi bahwa anak yang tumbuh dalam rahim istrinya adalah anak laki-laki. Ada alasan tentunya mengapa dia menginginkan anak laki-laki. Dia berharap akan ada yang menggantikannya kelak, menjadi penerus keluarga, dan membantu dirinya bekerja. Bisa diandalkan meringankan beban hidup, syukur-syukur bisa mengangkat derajat keluarganya.
Dukungan dan sugesti dari kerabat dan tetangga tentang kehamilan istrinya membuat dirinya tersenyum bangga. Para tetangga selalu saja memberikan diagnosa palsu bahwa bayi yang akan lahir adalah laki-laki. Mereka seakan mendahului dokter dan takdir, mencoba menerka dengan modal pengalaman bukan pengetahuan.
"Ohh perut nya menonjol agak ke bawah, pasti anak laki-laki."
"Si Ibu suka jajan yang asin-asin, pasti bawaan orok. Laki-laki nih pasti nanti anak pertamanya."
Sampai tiba masanya di hari kelahiran. Mereka tentu saja tidak bisa memeriksakan kehamilan untuk di USG. Biaya periksa kehamilan + USG diluar kemampuan yang mereka punya. Begitu bayi yang lahir adalah seorang perempuan, maka luruh lah semua bayangan dan harapan sang bapak.
Tapi suratan takdir bukanlah goresan tinta yang bisa dihapus atau disobek saja kertasnya sekalian bila cerita tak sesuai harapan. Nasib manusia tertulis bahkan sebelum si manusia lahir ke dunia. Dia diberi nama Larasati, seperti dalam cerita pewayangan yang pernah didongengkan leluhur di masa lalu. Sang Ibu yang memberi nama, beserta segala harapan dan do'a yang menempel lekat pada nama itu.
Larasati akan menjadi seorang yang memiliki pendirian kuat, sehingga mampu mandiri menghadapi tantangan hidup. Dia akan memiliki kelembutan hati agar bisa menyayangi sesama tanpa pamrih. Memesona ketika berbicara karena berkepribadian yang menarik hati lawan bicaranya. Terakhir yang paling penting adalah mampu untuk meredakan emosi kemarahan.
Marah adalah kenaturalan dalam kehidupan yang mereka jalani selama ini. Mereka merasa tidak ada ketidakadilan atas nasib yang diterimanya. Hidup miskin dan sederhana.
Maka do'a orang tua lah yang paling manjur. Sejak lahir, Larasati tak pernah menyusahkan mereka. Meskipun hidup miskin, tapi Larasati sehat sempurna tak ada satu kurang apapun. Dia terlahir bersih dengan berat dan tinggi badan yang ideal. Hingga usia 3 tahun dia tak pernah sekalipun sakit yang mengharuskan orang tuanya kelimpungan mencari uang untuk ke dokter. Tapi mungkin, satu-satunya sakit yang dialami Larasati adalah pukulan yang mengenai kejiwaannya.
Bagaimana tidak, diusia sedini itu Larasati sudah harus mendengar cek-cok orang tuanya. Pertengkaran verbal dan kata-kata kasar. Saling tuduh tentang pemenuhan hak dan kewajiban, peran suami istri, peran ayah dan ibu.
Hingga tiba pada puncaknya, si ayah yang sehari-hari menjadi buruh tani dan sesekali menarik becak telah kecanduan judi dan miras. Pengaruh lingkungan yang didukung rasa sesalnya karena tak mendapatkan apa yang ia harap membuatnya terjerumus lingkaran setan. Dia pulang dalam keadaan mabuk dan tekanan hutang yang telah jatuh tempo. Hutang yang seharusnya tak ia lakukan, walaupun alasannya untuk kebutuhan keluarga, dia menyelipkan kepentingan ego dalam hutang agar bisa memenuhi hasratnya bermain judi.
-o0o-
Kala itu hari belum sepenuhnya sore, karena panas terik masih terasa begitu nyata. Dia pulang dengan gontai dari pangkalan becak, yang sehari-hari menjadi basecamp judi dan mabuk. Ia pulang dengan marah karena kalah judi, marah karena bosan dengan keadaan hidup miskin, dan marah pada diri sendiri yang tak mampu menerima kehadiran sang anak.
Di rumah didapatinya sang istri sedang merebahkan badannya karena lelah seusai berladang dan mengurus rumah. Suami datang melihatnya dengan bingkai istri malas. Seperti api yang disiram minyak, pertengkaran pun tak bisa dielakan lagi. Wajar saja, aura rumah yang sudah pengap karena tidak adanya keharmonisan seperti bom waktu yang setiap saat bisa meledak.
Suami menilai istrinya pemalas. Istri menilai suami tak bertanggung jawab. Seperti dua kutub yang tak bisa bersatu, seteru adalah hal yang sudah pasti terjadi.
"Suami pulang bukannya disambut, malah tiduran seperti orang malas." Bau alkohol menguap ke udara dari omongan yang dilontarkan
Istrinya bersabar karena bukan hari itu saja suaminya begitu. Dia pun berdiri dan beranjak ke dapur mengambilkan segelas air putih dari ketel di atas tungku. Didapatinya Larasati sedang tertidur lelap di atas dipan tanpa kasur dengan muka malaikatnya. Dia tatap muka itu dengan tulus dan do'a yang terpanjat, juga janji bahwa dia akan mengeluarkan mereka dari situasi hidup yang sekarang.
Lalu dia kembali ke ruang tengah, segelas air hangat disuguhkan pada lelakinya. Di sana suaminya sedang duduk sambil menghisap tembakau kretek beraroma tidak sedap karena didapat dari kualitas paling bawah di pasar tradisional tak jauh dari kampungnya. Setelah memberikan gelas berisi air itu, suaminya meminta dirinya untuk tetap di sana.
"Duduk dulu sini. Ada yang ingin ku bicarakan."
Di bawah pengaruh alkohol, suaminya mengutarakan semua hal yang ada dalam hati dan pikirannya. Tentang hidup mereka yang miskin, tentang hutang, tentang amarah, dan rasa sesal. Dia ceritakan dengan gamblang tanpa sekalipun melihat ekspresi sang istri atas pengakuannya itu.