Teriakan anaknya seakan memecah suasana. Orang tuanya dibuat kaget hingga mematung seketika. Ibunya menarik kain sarung untuk menutupi badannya yang telanjang, sementara ayahnya mengawasi keadaan sang juragan yang ambruk dengan posisi telungkup.
Sang Ibu berlari terpontang-panting mendatangi puteri tercintanya. Dia memeluknya dengan sangat erat, menarik bangun Larasati, lalu mengajaknya menjauh dari tempat itu.
Tak peduli hujan atau kondisinya yang setengah telanjang. Ibu dan anak itu pergi tanpa menoleh lagi. Air mata masih mengucur walaupun sekuat tenaga mereka tahan. Mereka menuju rumah untuk terakhir kalinya.
Sesampainya di rumah, mereka mengguyur diri menggunakan tampungan air hujan yang biasa mereka gunakan untuk mencuci piring esok harinya. Hanya beberapa helai pasang pakaian yang mereka ambil dari lemari tanpa memilihnya terlebih dulu. Lalu keluar rumah tanpa menutup pintu. Kedua orang itu menembus gelap malam tanpa arah tujuan.
Rumah orang tua? Tidak mungkin, hanya akan menyebar aib.
Rumah sanak sodara? Sama aja menyiram minyak pada api yang menyala.
Lalu kemana? Mereka terus berjalan hingga sampai di jalan besar batas kabupaten. Rasa lelah dan kantuk menghentikan langkah lalu tersungkur di pojok sebuah ruko di pasar yang sepi.
Di bagian pasar paling dalam mereka meringkuk saling memeluk, mencoba mengusir dingin yang menggelitik. Hingga pada satu waktu Larasati terjaga karena terasa perutnya perih. Perutnya sejak siang belum terisi apa-apa. Tapi ia enggan membangunkan Ibunya karena kasihan. Ibunya pun merasakan hal yang sama, matanya terpejam seperti tidur tapi pikirnya semrawut dengan apa yang sedang terjadi.
Kedua insan manusia itu saling mengeratkan pelukan, memberikan makan pada perut yang kelaparan dengan kehangatan. Hingga pagi menjelang dan pasar mulai ramai, mereka tahu diri untuk tidak mengganggu orang. Kamar mandi umum menjadi tujuan pertama. Sedikit membersihkan badan. Membasuh muka berharap kesegaran menjernihkan pikiran.
Cermin usang di dalam toilet memantulkan wajah suram. Selidik matanya melihat muka sendiri sementara hati dan pikirannya berbicara memenuhi ruang di kepala. kalimat-kalimat tanya memberondong membisiki rongga telinga.
"Bagaimana ini bisa terjadi?"
"Setelah ini aku harus apa?"
"Bagaimana nasib anakku?"
"Bagaimana masa depannya?" dan segudang pertanyaan yang terus datang.
Ia menepuk pipinya beberapa kali. Sekali lagi mengguyurkan air pada mukanya. Dia mencoba tenang dan berpikir jernih. Paling utama sekarang adalah mengisi perut.
Mereka berdua tengah duduk di sebuah warung sederhana di area luar pasar di ujung tempat parkir. Sepiring nasi uduk yang mereka pesan untuk dimakan berdua tinggal beberapa suap. Ibunya meyerahkan piring itu pada Larasati.
"Habiskan nak!"