Gadis Pemulung Sampah

Ismail Ari
Chapter #4

Sementara Bahagia

Dinihari yang dingin, bus yang dikendarai mereka menepi di rest area terakhir sebelum memasuki kota tujuan. Mereka tak menyangka perjalanannya akan selama itu. Semua penumpang turun dari bis untuk sekedar menyegarkan badan dari rasa pegal dan kantuk, juga untuk memenuhi keinginan untuk buang air kecil/besar.

Larasati menunggu dengan rasa kantuk di kursi besi dekat pintu toilet. Ditangannya ia pegang sebungkus roti dan sebotol kecil air minum. Meski mengantuk, pandangannya tetap awas. Dilihat dan diperhatikannya keadaan sekitar. Orang-orang dan kendaraan yang terparkir. Bangunan dan pepohonan yang berjejer rapih di sekitar rest area itu.

Tak lama setelah ia duduk dirasnya tenggorakan kering. Ia buka penutup botol, lalu ia minum sepuasnya. Ketika belum lepas mulut botol dari mulutnya yang kecil pandagannya tertuju pada seorang anak kecil. Satu atau 2 tahun lebih muda, sedang bermain dengan kucing liar. Terlihat ayahnya tak jauh dari si anak memperhatikan.

Larasati selesai dengan air minumnya, tenggorokannya pun tersegarkan. Tapi pandangannya tetap tak beralih pada si anak itu. Karena dari yang ia lihat si anak menjauhi ayahnya mengikuti kemana kucing berlari.

Larasati diam terpaku hingga dikagetkan kehadiran Ibunya. Dia datang menegur kenapa Larasti diam seperti orang bingung. Larasati tak menjawab hanya menunjuk ke arah mana pandangannya tertuju.

Kejadiannya begitu cepat ketika tiba-tiba datang dari arah dalam sebuah toko seorang perempuan menenteng kantong belanjaan. Dia seperti bertanya sesuatu pada seseorang yang diyakini suaminya. Keduanya nampak keheranan dan mengaburkan pandangan ke segala arah sambil meneriakan nama seseorang.

Larasati tanpa aba-aba berdiri dan kemudian berlari ke tempat kedua orang tadi. Ibunya menyusul mengerti apa yang akan Larasati lakukan. Dia paham bahwa Larasati tahu kemana anak kecil tadi pergi.

Ketika mereka tiba di tempat kedua orang itu, Larasati diam tak mampu berkata apapun. Ibunya berinisiatif mewakilkan puterinya.

“Ada apa Pak? Bu?”

“Anak kami hilang,” jawab mereka berbarengan.

“Sepertinya puteri saya tahu kemana anak bapak ibu pergi,” jawabnya sembari merangkul pundak Larasati.

Larasati masih tak berbicara. Sebelum orang tua dari si anak kecil bertanya, Larasati telah setengah berlari ke arah terakhir ia melihat anak kecil itu mengikuti kucing mencari makan. Mereka pun mengikuti langkahnya dengan tergesa.

Mereka berjalan cepat dengan sebuah harap. Menuruni tangga etalase sebuah toko pakaian ke arah toko makanan tak jauh dari tempat itu. Larasati paling depan terus memimpin mereka ke belakang toko makanan. Celah kecil remang-remang di belakang toko yang hanya cukup dimasuki satu orang dewasa ditembusnya tanpa banyak pikir. Dibelakangnya diikuti sang ayah sementara sang ibu menunggu di ujung lorong ditemani Ibu Larasati yang mengusap pundaknya tanpa henti.

Di sudut lorong ditemukanlah sang anak berjongkok asik memperhatikan kucing yang sedang makan daging ayam sisa yang dibawanya dari toko makanan itu. Larasati berdiri melihat laki-laki dewasa itu memeluk haru anaknya seakan menemukan permata yang hilang.

-o0o-

Dua gelas teh panas dan beberapa piring cemilan tersaji di atas meja. Tiga orang dewasa dan dua orang anak kecil duduk saling berhadapan. Mereka akhirnya bertukar cerita setelah ribuan terimakasih terlontar dari kedua orang tua yang hampir kehilangan anak semata wayangnya.

Ibu larasati tak bisa menolak karena mereka terus memaksa. Meskipun sungkan, Ia tetep menghargai ajakannya untuk sekedar membelikan teh hangat dan makanan pengisi perut yang lapar.

"Jadi ibu ini belum punya tujuan di Jakarta nanti?" tanya laki-laki itu.

"Sementara belum terpikir Pak. Tapi yang jelas saya harus mendapat pekerjaan di Jakarta nanti," jawabnya dengan suara yang hampir tak terdengar.

Lihat selengkapnya