Gadis Pesantren

Fitria Sawardi
Chapter #2

Santri Baru

Halaman pesantren kembali riuh. Mengalahkan suara-suara kicau burung yang beterbangan di pagi yang cerah. Sementara matahari menyalakan sinar ceria di tanah pesantren yang terletak di Pati Jawa Tengah. Dalam genggaman udara yang hangat itu, tubuh-tubuh santri mulai bertebaran dengan ekspresi wajah yang berbeda-beda. Ada yang menampilkan wajah bahagia dengan sejuta senyum manis serta aura positif yang memancar kuat. Namun, tidak sedikit juga yang menahan gurat sedih sebagai bentuk kecewa atas ketidaksesuaian dengan harapan, takut dengan suasana yang asing, terkejut dengan lingkungan baru, bingung menghadapi padatnya program yang sudah menunggu. Dari semua macam ekspresi itu, setidaknya ada satu kesamaan diantara mereka, yakni sebuah ketenangan. Dibalik polosnya wajah itu, tersimpan energi yang dapat menentramkan siapa saja yang memandang. Suasana tahun ajaran baru ini benar-benar menghiasi tanah pesantren dengan karakter-karakter yang unik. Semua jenis karakter dibiarkan bebas menyatu pada karakter lainnya, namun tetap dibatasi pada norma-norma. Hingga peraturan pesantren berbicara dengan tegas agar membentuk pola yang kokoh. Orang-orang menyebutnya 'akhlakul karimah'.

Hadirnya wajah-wajah baru dengan latar belakang yang berbeda-beda. Dengan proses yang berbeda-beda pula mereka bisa sampai pada tempat yang kerap dipanggil ‘penjara suci’ oleh sebagian besar santri. Ada yang datang berkat kemauannya sendiri, ada yang tersesat karena persoalan janji, ada juga yang sangat terpaksa karena ambisi orang tua. Dan masih banyak alasan-alasan lain. Sofia. Gadis keturunan pesantren asal Sumenep Madura, termasuk salah satu santri dalam kategori sampai ke pesantren ini karena kondisi terpaksa. Ia akhirnya memutuskan untuk nyantri ke Pesantren Pati, setelah orang tuanya berkali-kali melayangkan rayuan yang kerap membuatnya kesal. Ia cukup bosan dengan rayuan itu sehingga memutuskan untuk menghentikan dengan cara seperti ini. Dengan segala konsekuensinya, ia akan berusaha damai dengan pesantren. Termasuk pada orang-orang di dalamnya.

Sesampainya di ruang kecil, ia berdiri mematung. Ketua kamar yang membawanya ke ruang ini kemudian menyikut, hingga lamunannya buyar. Lalu memintanya untuk memperkenalkan diri. Merasa tak butuh sebuah perkenalan, ia masih memilih untuk diam hingga orang di sampingnya mengambil inisiatif untuk memulai perbicangan. "Kita kedatangan anggota baru di kamar ini," lantas menatap pada Sofia "tunggu apa lagi?" Sepertinya ketua kamar hampir kehilangan kesabaran melihat Sofia tak kunjung peka untuk menyebutkan identitasnya.

“Sofia.”

Dengan setengah malas, gadis cantik itu akhirnya membuka suara. Perkenalan tampak datar, namun membuat yang mendengar tak mau mengedipkan mata barang sebentar. Mungkin terpesona dengan kecantikannya yang tak lazim. Kulitnya putih dan bersih. Lihat, hidungnya mancung, wajahnya tirus, alisnya tebal, matanya berbinar, bibirnya terlihat begitu seksi serta giginya yang rata. Sungguh perpaduan itu membentuk kecantikan yang begitu sempurna di mata santri-santri yang sekarang ini ada dihadapannya.

Sofia beradu telapak tangan pada setiap santri yang sejak tadi berdiri dalam keadaan termenung, serta berjejer di ruang kecil dengan wajah-wajah yang masih tidak sadar telah larut kagum akan kecantikan yang begitu sempurna. Kamar sederhana ini setidaknya terdiri dari sepuluh orang. Adalah Septi, Fani, Rania, Fadhila, Nanda, Fariha, Sita, Najwa, Maia, dan Fatiya. Mereka sudah lama menjadi penghuni kamar ini, dan bukan sesuatu yang tidak mungkin jika mereka saling menganggap temannya sebagai saudara sendiri, bahkan lebih dekat daripada saudara kandung. Kehadiran Sofia, menambah satu personil yang akan masuk dalam daftar saudara kandung. Dan mulai detik ini mereka mengumumkan bahwa anggota kamar bertambah menjadi 11 orang. Sebenarnya, ukuran kamar yang tidak lebih dari tiga meter persegi itu tidak mampu menampung santri berjumlah sebelas orang. Ini terlalu sesak. Ditambah dengan keberadaan lemari mirip loker kecil, juga barisan rak buku yang menggantung di dinding. Tidur di kamar kecil dengan formasi lengkap sungguh sangat mustahil. Maka pilihan yang paling tepat adalah beberapa anggota kamar, tidur di aula saat malam hari, menyisakan santri yang tidak tahan dinginnya malam, sehingga harus tidur di dalam kamar. Cara ini sudah menjadi kesepakatan bersama. Mereka tidak pernah menuntut lebih. Begitulah hidup di pondok pesantren. Para santri terbiasa hidup sederhana. Mereka merasa enjoy dengan kehidupan yang ada. Begitulah cara mereka menikamati hidup, membiasakan diri mensyukuri apapun yang diberikan. Mereka tidak pernah fokus pada masalah, namun berkonsentrasi untuk menemukan berbagai solusi. Solusi yang berhasil mereka cetuskan berkat toleransi tinggi, termasuk toleransi terhadap santri baru. Toleransi untuk membiarkan Sofia tidur di kamar.

Sofia menarik koper_yang sedari tadi bersembunyi di balik pintu, kemudian mengarahkannya pada lemari yang sudah disiapkan oleh pengurus pondok pesantren. Kalau dibandingkan dengan lemari biasanya, kotak lemari yang tersedia di pesantren ini terbilang kecil, paling hanya cukup diisi 6 sampai 7 pasang baju. Ketika logika diberi kesempatan untuk berbicara, maka akan muncul pertanyaan seperti ini "mana mungkin mereka hanya akan memakai baju 6-7 pasang selama di pesantren?" Tapi kondisi tak pernah meladeni logika. Hingga kenyataan berperan aktif dengan opininya yang berbunyi "santri dididik untuk hidup sederhana, bahkan sampai urusan baju pun menjadi urusan penting, dibatasi sehingga hidup sederhana menjadi pilihan yang paling valid." Kalau sudah begitu, tak ada yang berani menyanggah.

“Tak bantu ya, Mbak?” Fariha, salah satu penghuni kamar menawarkan diri untuk membantu merapikan baju santri baru itu. Sudah menjadi kebiasaan di pesantren, memanggil ‘mbak’ pada yang lebih tua dan memanggil ‘adik’ pada yang lebih muda. Juga, memanggil mbak pada orang yang baru dikenal sebagai bentuk penghormatan.

“Oh tidak usah.” Balas Sofia datar. Lantas kembali pada aktivitasnya, menempelkan kertas kado di setiap sisi pada bagian dalam lemari. Ia masih ingin menutup diri, tak ingin akrab dengan siapapun karena khawatir identitas sebagai gadis keturunan pesantren diketahui orang. Namun, tanpa menghiraukan ucapan Sofia, Fariha lantas meraih gunting yang dipegang Sofia, kemudian mengguntingi isolasi untuk direkatkan pada setiap ujung kertas kado agar menempel rapi di bagian dalam lemari. Setelah bagian dalam lemari terlihat indah dan rapi oleh balutan kertas kado motif bunga-bunga, Fariha juga membantu merapikan baju-baju yang diambil dari koper Sofia.

“Ayo, segera ambil wudu!” Ajak Septi selaku ketua kamar, ia adalah penghuni yang paling senior di antara teman-teman yang lain. Lantas, mereka bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudu, karena sebentar lagi azan Magrib akan berkumandang.

Santri-santri itu pun ikut serta ke kamar mandi, memenuhi setiap ruang kamar mandi dan sekitarnya, mereka mengantre dengan tertib di lorong kamar mandi. Sungguh tenang melihatnya, mereka adalah wanita-wanita hebat. Sudah bisa dipastikan, lelaki yang berhasil menjadikan istri dari mereka adalah lelaki yang paling beruntung. Mereka adalah calon istri idaman dan calon ibu yang diharapkan.

Usai melaksanakan wudu, para santri sudah membentuk barisan dengan rapi di Musola, mereka duduk sambil menjawab azan magrib. Kemudian membaca doa setelah azan secara bersamaan dipandu oleh ustazah yang berada di barisan paling depan. Bersama sajadah yang menghampar rapi di lantai, mereka membaca salawat. Bukan hanya suara merdunya yang dapat menentramkan hati siapapun yang mendengar, namun isi dari salawat itu pula yang dapat menjadikan jiwa tenang. 

Usai salat magrib, santri membaca Al Quran bersama musohihah yang sudah ditunjuk oleh ibu nyai di pesantren ini. Para musohihah itu dipercaya mempunyai kemampuan membaca Al Quran dengan baik dan menggunakan tajwid yang benar. Ada sekitar 15 musohihah di Musola yang siap menyimak dan membenarkan bacaan para santri. Acara mengaji berlangsung sampai masuk waktu Isya.

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarokatuh.” Sapa ustazah usai mengimami salat Isya.

Waalaikum Salam Warahmatullah Wabarokatuh.” Santri menjawab kompak dan penuh semangat.

“Perkenalkan, ini ada santri baru lagi, semoga bisa betah di pesantren ini.” Ustazah memberikan pengeras suara pada Sofia kemudian memintanya untuk memperkenalkan diri. Sofia masuk ke pesantren, satu minggu setelah santri baru yang lain datang ke pesantren. Semua santri sudah berkenalan beberapa hari yang lalu, menyusul Sofia yang masih belum sempat berkenalan. Ustazah menyerahkan pengeras suara pada Sofia.

Lihat selengkapnya