Matahari sudah memamerkan cahayanya pada bumi, juga menebarkan keindahan sinar yang memang dibutuhkan mahkluk bernyawa maupun tidak bernyawa. Para santri sudah sangat siap menerima cahaya matahari meskipun hanya lewat celah kaca jendela yang ada di setiap kamar. Bahkan, sebelum matahari terbit, tepatnya saat fajar masih mengintip untuk pertama kalinya, para santri berlomba-lomba untuk melakukan salat tahajud, kemudian berlama-lama dalam sujud untuk mengadukan harapan-harapan yang terbungkus dalam doa pada Sang Pencipta.
Di pagi hari yang selalu berputar tepat waktu ini, setidaknya ada dua kegiatan berbeda yang dilakukan para santri. Sekolah umum dan sekolah diniyah. Kepada santri yang tidak sekolah umum, mendapatkan jadwal belajar diniyah di pagi hari. Siang hari bisa digunakan untuk mengkaji ulang kitab kuning, dimana pada bagian bawah huruf hijaiahnya sudah dipenuhi dengan coretan makna pegon bersama ustazah. Sedangkan santri yang belajar di sekolah umum_baik jenjang SD, SMP, SMA, mendapatkan jadwal belajar diniyah di siang hari. Karena sekolah umum mengatur jadwal di pagi hari. Maka dari itu, setiap santri yang mengenyam pendidikan di luar pesantren harus lebih ekstra daripada santri yang hanya belajar diniyah di pesantren. Pagi-pagi sudah harus mandi dan sarapan. Kalau tidak, mereka akan terlambat ke sekolah karena untuk sampai ke sekolah harus naik angkot dengan ongkos sekitar lima ribu. Santri yang tidak sekolah umum biasanya akan mengalah untuk mandi paling akhir. Mereka memilih duduk memanjang di luar sumur sembari membincangkan banyak hal yang mengundang tawa ringan. Setelah memastikan santri prioritasnya tuntas dari sumur, mereka membubarkan antrian panjang yang tercipta di luar sumur, lalu bergegas mandi karena waktu mereka tidak banyak untuk memulai kegiatan belajar sekolah diniyah.
Seperempat dari santri yang berada dalam tubuh pesantren ini, memilih belajar di luar pondok pesantren untuk menikmati keistimewaan pengetahuan umum. Pada waktu yang hampir bersamaan, tubuh mereka akan bermunculan di depan halaman pesantren, menuju gerbang depan. Kalau sudah begitu, mobil angkot akan memelipir ke tepi jalan untuk membawa mereka ke sekolah tujuan masing-masing. Sofia dan Fariha yang sudah janjian sejak tadi malam untuk berangkat ke sekolah bersama-sama, memilih untuk naik angkot berikutnya walaupun angkot di depannya masih menyisakan satu tempat duduk kosong_yang bisa diisi Sofia ataupun Fariha. Komitmen untuk berangkat bersama dimulai dari sini. Tidak ada alasan untuk saling meninggalkan. Karena keduanya belajar di SMA yang sama. Tidur di kamar yang sama. Mungkin banyaknya kesamaan itu, semakin membuat mereka akrab, hingga jarak antara santri dan keturunan kiai sudah tidak diperhitungkan lagi.
“Mengapa kamu tidak menempuh pendidikan di Madura saja?” Fariha membuka perbincangan setelah menoleh kanan kiri depan belakang tidak ada santri lain. Mereka duduk di kursi mobil bagian tengah. Mobil angkot masih belum menancapkan gas, sebelum penumpang yang berlarian dari seberang jalan memenuhi kursi belakang.
“Pengen cari pengalaman baru di luar kota.” Sofia melemparkan senyum untuk menutupi kebingungannya dalam menjawab. Lebih tepatnya, ia belum siap menceritakan secara detail tentang kerumitan menjadi keturunan pesantren.
“Di pesantrenmu 'kan ada sekolah umum juga, terkenal pula?” Fariha menjejalkan pertanyaan lagi. Kali ini mobil angkot dengan badan biru muda itu mulai melaju, semua kursi sudah sesak oleh penumpang.
“Alah. Belajar itu bukan dilihat dari seberapa terkenal lembaga pendidikannya, tapi dari seberapa jauh usaha pelajar untuk bisa meraih prestasi yang diinginkan.” Sofia lagi-lagi melemparkan senyum.
“Iya juga sih.” Respon Fariha, seperti sudah mendapatkan arahan, serta membenarkan pendapat Sofia, namun dilihat dari nada bicaranya, masih terkesan tidak puas. Seperti mempertahankan asumsinya, bahwa belajar di lembaga pendidikan terkenal itu sesuatu yang membanggakan.
Mobil angkot berhenti persis di depan gang sekolah. Setelah memungut uang dari dalam saku dan memberinya pada sopir angkot, mereka berhambur menuju kelas masing-masing.
Sepanjang yang ia bisa, Sofia akan mempertahankan diri untuk tetap menjaga rahasia perihal statusnya sebagai anak kiai tersohor, yang memiliki pondok pesantren besar di pulau Madura. Biarlah yang sudah terlanjur tahu seperti saat ini, hanya Fariha dan keluarga pesantren Pati yang mengetahui status Sofia. Selebihnya, tidak akan ada lagi yang boleh mengetahui rahasia itu. Ia ingin merasakan hidup tenang layaknya masyarakat biasa. Seperti sekarang. Sebagai santri sekaligus pelajar di Jawa Tengah. Orang tua Sofia sengaja menempatkan putrinya di pesantren Jawa Tengah, karena keduanya masih mempunyai hubungan saudara. Abah Sofia dan kiai di pesantrennya saat ini sudah saling kenal sejak kecil, bahkan sangat akrab. Dengan demikian, akan lebih mudah untuk memantau perkembangan putrinya. Tentang perkembangan sikap, akademik: kategori pengetahuan umum dan diniyah, intelektual, spiritual, emosional, dan segala hal rinci yang berkaitan dengan progres karakter dan akademiknya. Alasan Sofia merahasiakan statusnya sebagai keluarga pesantren karena sebuah rasa khawatir. Dimana para santri akan memperlakukannya sebagai anak kiai sebagaimana adat yang berlaku. Ia tidak ingin dihormati secara berlebihan. Juga tidak ingin, bahwa setiap gerak-gerik tubuhnya menjadi pusat perhatian untuk kemudian ditiru para santri. Seperti yang sudah-sudah, keluarga kiai biasanya mempunyai perilaku baik, tapi tidak dengan Sofia. Ia yakin, seyakin-yakinnya bahwa segala tindak tuturnya masih belum layak untuk ditiru siapapun. Layaknya orang biasa, ia memiliki status yang sama dengan santri-santri lainnya, sama-sama belajar untuk melenyapkan kebodohan. Tidak hanya pada santri, rahasia itu tertutup rapat. Kepada teman SMAnya, ia juga membungkam statusnya. Untuk teman SMAnya ini, ia memiliki kekhawatiran lain. Khawatir teman-temannya melakukan tindakan bullying dengan label panggilan ‘Nyai atau Neng’. Yang paling menakutkan lagi, statusnya dapat menjadikan teman sebayanya beralih untuk menjauhinya dengan alibi beda derajat. Sedangkan ia merasa berhak untuk menikmati indahnya membaur dengan teman di masa remajanya tanpa batasan golongan.
Mungkin ini mulanya yang menjadi musabab Sofia tidak mau nyantri di Jawa Tengah, ia hanya ingin menempuh sekolah umum. Lantaran bersinggungan dengan pesantren lebih mudah membuka ruang statusnya. Namun sekali lagi, semakin ia berusaha untuk mempertahankan keinginannya untuk hanya menempuh sekolah umum, semakin ia dihantui rasa gundah serta bersalah. Ia kalah telak dengan rayuan orang tuanya hingga tak bisa mengambil keputusan lain selain nyantri. Itu sebabnya ia baru nyantri saat kelas XI SMA. Sebelumnya, selama satu tahun ia tinggal di rumah saudara Abahnya yang tidak jauh dari sekolah. Hatinya baru terbuka setelah sekian nasehat dijejalkan Abahnya melalui telepon. Setiap hari bisa dikatakan tidak pernah absen dari nasehat Abahnya, sampai akhirnya ia mau masuk pesantren seperti sekarang ini. Semoga saja Sofia betah tinggal di pesantren, itu yang menjadi harapan Abahnya (walaupun tidak pernah diucapkan secara langsung pada putrinya).
Saat jam istirahat tiba, semua siswa berhamburan dari dalam kelasnya. Ada yang langsung menuju kantin, koperasi, ada yang terburu-buru menuju perpustakaan untuk membaca dan meminjam buku. Ada juga yang sekadar duduk di kursi yang menggagahi taman sekolah. Sedangkan Sofia menuju ke kelas Fariha untuk pergi bersama membeli snack di koperasi. Ini adalah kali pertama ia masuk ruang kelas Fariha, sehingga dengan alasan itu pula para teman yang tersisa di kelas itu menciptakan pusat perhatian pada Sofia. Entah karena keelokan wajahnya yang langka atau sekadar melihat sosok orang asing.
“Farihanya ada?” Sofia masih mematung di daun pintu. Berusaha akrab. Lalu tengak-tengok ke semua sisi ruang kelas. Namun tak kunjung jua mendapati ujung hidung temannya.
“Fariha di ruang musik.” Jawab salah satu teman yang asyik membaca buku di kursi pojok bagian belakang.
“Oke, terima kasih!” Sofia membalikkan badan, lantas menaiki tangga menuju ruang musik yang terletak di lantai dua.
Di pintu masuk ruang musik, terdapat salah satu anak band, tampaknya ia keluar dari ruang itu untuk membuang sampah. Tangannya memegang bungkus jajan. Dan benar saja, ia mendekati tempat sampah, lantas membuang bungkus jajan itu di tempat sampah warna kuning bertuliskan ‘sampah anorganik’. Sofia yang sedari tadi berdiri di pinggir tiang dekat pintu, mengamati setiap gerak-gerik anak band yang terkenal dengan sebutan Billy itu. Menyadari diperhatikan, Billy lantas menatap wajah Sofia. Keduanya asyik menikmati tatapan ini. Sepertinya Billy menikmati pemandangan paras cantik gadis di depannya, seperti ingin berlama-lama menatap kecantikan yang sempurna itu. Begitu juga dengan Sofia, ia tidak mau melepas pandangan dari wajah Billy. Siapa yang tidak kenal Billy? Ia adalah vokalis band sekolah yang banyak diincar dan diidolakan para siswa di sekolah. Begitu juga dengan Sofia, sejak kelas X, Sofia pasti berada di barisan paling depan pada setiap acara yang dimulai dengan penampilan band yang ditampilkan oleh Billy dan rekannya.