Gadis Pesantren

Fitria Sawardi
Chapter #4

Senang Berbalut Sedih

Malam, dimana langit menampakkan wajah hitam. Untungnya bulan segera peka untuk mewarnai dengan cahayanya. Juga bintang yang bertaburan, menambahkan keindahan bagi setiap mata yang memandang. Jangan tanyakan mengapa matahari tidak tampak, karena memang matahari bersembunyi di balik langit, memberi kesempatan pada bulan dan bintang untuk tampil ke bumi. Mereka bersepakat untuk menampilkan dirinya secara bergantian. Matahari akan tampak di siang hari, sedangkan bulan dan bintang di malam harinya. Begitulah arti sebuah perdamaian. Andai mereka saling berebut untuk menampilkan badannya pada bumi tanpa mengenal waktu, niscaya bumi akan hancur dan pastinya tidak akan ada lagi yang namanya kehidupan.

Bertemankan malam yang indah, dengan tarian bintang-bintang di langit, para santri duduk di tempat yang dianggap paling nyaman di puncak pesantren. Apakah kalian sudah tahu apa itu puncak pesantren? Baik, saya jelaskan sedikit. Puncak pesantren adalah istilah yang dibuat oleh santri. Tempat terbuka yang terletak di lantai paling atas bangunan pondok pesantren. Lantainya berhamparan keramik dengan bentuk kotak kecil berwarna kuning. Malam ini adalah malam jumat, yang disebut juga dengan malam yang santai, dimana santri dibebaskan dari tuntutan aktivitas pesantren lepas salat Isya. Jika malam sebelumnya santri berhadapan dengan berbagai aktivitas, di malam ini santri menggunakan waktu sesuka hati. Maka di waktu yang rileks itu, para santri memanfaatkan untuk bercerita, makan camilan dengan santai, bermain game tradisional dan berbagai hal yang menyenangkan.

“Ada apa?” Fariha menegur Sofia yang membuatnya bertambah diam seribu bahasa. Mereka berdua duduk di pojok puncak. Sofia tidak bisa menyembunyikan wajah murungnya.

Fariha masih memerhatikan wajah Sofia yang terjebak dalam diam. Sepertinya ia hendak bercerita namun tidak tahu harus memulai dari mana. Setelah keduanya betah untuk saling diam, akhirnya Sofia mau membuka pintu cerita dengan kata-kata yang sebelumnya terkungkung lama di dalam otaknya.

Sofia menghela napas panjang. Cerita-cerita itu melayang lancar dari balik bibirnya: Ia baru saja mendapatkan telepon dari orang tuanya. Melalui ponsel pribadi ibu nyai pesantren. Santri dilarang membawa HP. Apabila terdapat orang tua yang hendak berkomunikasi untuk hal penting, maka telepon pesantren siap menerima. Dan santri akan berkomunikasi di ruang pengurus pesantren. Kepada Fariha yang masih setia mendengarkan, Sofia meluapkan kesedihannya. Ia dikabari oleh ummahnya kalau ada seseorang yang ingin meminangnya. Tentu, pemuda itu merupakan keturunan kiai. Sudah hampir menjadi tradisi, sebuah ‘perjodohan’ dilaksanakan dengan sesama keturunan kiai. Harapannya agar kelak mendapatkan keturunan yang saleh dan salehah. Menurut kabar dari ummahnya, pemuda itu sudah mendalami agama dengan mantap. Sudah khatam banyak kitab seperti hadits, akidah, fikih, tajwid, nahwu dan yang lainnya. Pemuda itu juga sudah dipercaya masyarakat untuk berdakwah, sehingga seringkali mendapatkan undangan dalam berbagai acara. Ummahnya meyakinkan bahwa pemuda itu merupakan lelaki yang baik dan pantas untuk menjadi kepala keluarga.

Sofia menangis sejadi-jadinya saat ummahnya memohon agar menerima lamaran itu. Abah dan ummahnya akan memberi kesempatan untuk menuntaskan sekolahnya. Dan setelah lulus, mereka bisa melaksanakan akad nikah. Sofia tetap menolak lamaran itu walau diberi waktu untuk belajar sampai lulus. Semakin kesini, tangisannya semakin menjadi-jadi. Sofia bicara pelan pada ummahnya_yang menurutnya paling pengertian, bahwa kalau ia terikat dalam ikatan tunangan, pasti akan sangat mengganggu konsentrasi belajar. Dengan nada memohon, ia meminta pada ummahnya untuk menyampaikan kabar penolakan itu pada keluarga lelaki, melalui abahnya. Dan ia mengajukan permohonan sekali lagi, agar tidak menerima lamaran tanpa sepengetahuan dan seijin Sofia. Mendengar penolakan itu, ummahnya mencoba untuk menenangkan pikirannya dan akan mendiskusikan segala sesuatunya dengan abahnya.

Ketakutannya selama ini hadir di depan mata. Ia tidak habis pikir, kenapa harus dijodohkan sedini mungkin? Tidak sedikit pun waktu berbelas kasih padanya. Setidaknya setelah kuliah atau setelah mendapatkan pekerjaan mapan. Sofia masih menyimpan ambisi kuat, diwujudkan dalam sebuah cita-cita untuk melanjutkan kuliah setelah lulus dari SMA nantinya. Jadi, soal pernikahan belum sempat terpikirkan sejauh ini. Tentang perjodohan; tunangan kemudian nikah dini. Dalam kondisi yang begitu rumit, ia berusaha untuk mempertahankan penolakannya. Menyalahi tradisi yang sudah dipegang kuat dalam ranah pesantren. Namun sekuat apapun Sofia melakukan penolakan, sekuat itu pula tradisi pesantren berjalan sesuai fitrahnya. Kalau saja keluarganya mengerti apa yang ada di dalam pikiran Sofia, niscaya mereka akan menghapus tradisi perjodohan itu. Sayang sungguh sayang, yang menjadi fokus orang tuanya bukan soal menghapus tradisi yang sudah baik, justru fokus pada bagaimana Sofia dan perjodohan itu berlangsung tanpa hambatan.

Fariha yang mendengar cerita itu hendak menangis. Tapi tidak bisa mengeluarkan air mata. Ia tidak biasa menangis. Ia perempuan yang cukup tegar. Sejak kecil sudah dibiasakan untuk menjadi perempuan tangguh. Tidak cengeng. Fariha yang sudah merampungkan aktivitas mendengarnya, bingung akan solusi yang cocok untuk temannya. Cerita-cerita yang baru saja dikeluarkan dari sarang perasaan merupakan permasalahan rumit untuk seusia Sofia. Karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, Fariha setidaknya melontarkan kalimat-kalimat bijak. Setidaknya Sofia sudah merasa lebih tenang setelah mengeluarkan unek-unek dalam bentuk rangkaian cerita pada Fariha.

“Daripada larut dalam kesedihan, mending kita memikirkan hal menyenangkan! Enjoy yuk!" Fariha berusaha untuk mencairkan suasana.

Lihat selengkapnya