Sofia dan Fariha sudah kembali ke Pesantren. Rasa lelah masih menempel dalam tubuhnya, lemas disertai badan panas, namun itu bukan menjadi alasan bagi mereka untuk tidak mengikuti kegiatan di Pesantren. Sudah disadari oleh keduanya, telah meninggalkan kegiatan pesantren cukup lama. Sehingga mereka pun tidak punya alasan untuk menolak saat diminta untuk mengikuti kegiatan oleh pengurus pesantren. Segala hal di pesantren, walaupun itu sebuah hal kecil terdapat sebuah aturan. Makan tidak boleh berdiri, apalagi sampai berjalan. Ketika belajar diminta membaca doa terlebih dahulu. Membudayakan untuk mengantre; saat mengambil makanan, kamar mandi, WC dan sebagainya. Hampir semua kegiatan mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, sesak dengan aturan. Kalau santri mengikuti dengan baik, maka akan merasa tenang. Lebih terlatih untuk disiplin. Jika santri bermalas-malasan, satu saja aturan yang tidak dipenuhi, maka akan membuatnya tidak tenang karena dihantui oleh hukuman dari pengurus pesantren. Saat malam memberi aba-aba pada jarum jam di angka sepuluh, Sofia dan Fariha segera beranjak tidur. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, malam ini Sofia lebih mudah terlelap.
Di suatu pagi. Saat bel berdering menunjukkan jam istirahat, Billy mengerahkan teman bandnya menuju kantin. Bersama Fariha, Sofia mengikuti Billy dan kawan-kawan untuk makan bersama di kantin. Acara makan-makan digelar dengan sederhana, atas kemenangan lomba musik di Semarang. Walaupun di kantin tersedia nasi goreng, nasi campur, bakso dan makanan yang lainnya. Mereka lebih memilih bakso sebagai menu makannya. Ditambah dengan es jeruk dan teh hangat sebagai minuman pelengkap. Walau demikian, air mineral tetap menghiasi meja makan. Di sela-sela tatanan mangkok bakso.. Acara makan-makan ini murni dibayar oleh Billy. Meski sebenarnya dari sekolah akan ada reward, namun Billy berinisiatif untuk mengeluarkan uang sendiri. Karena ia sudah berjanji sebelumnya, jika menang lomba, akan mentraktir teman-temannya.
“Selamat ya, atas kemenangan kalian!” Salah satu cewek agak modis_bibir seksinya terdapat polesan lipstik tipis dan samar. Sekonyong-konyong, ia menghampiri anggota band di kantin. Ia adalah salah satu model sekolah yang pernah memerankan tokoh utama teaterikal dalam acara festival sekolah. Ia mempunyai wajah yang cantik, tapi tampak tidak alami karena dipolesi oleh kosmetik. Tingkahnya juga agak genit.
“Thanks.” Aris, salah satu anggota band membalas dengan wajah kaku, kemudian disusul oleh teman-teman yang lain, ‘thanks’. Semua anggota band sudah paham kalau model yang bernama Sazkia itu teman yang tidak begitu penting, mereka justru illfeel dengan segala tingkahnya selama ini.
“Kamu memang hebat, Billy!" Tukas Sazkia, “pantas saja kalau kamu jadi pemenangnya.” Sazkia berbasa-basi, dan terus memuji Billy, padahal tidak hanya Billy yang berperan penting dalam kemenangan lomba ini. Kalau tidak ada pemain musiknya, mustahil juga bisa menang, karena yang dinilai tidak hanya vokalisnya tapi juga pemain musiknya yang pandai memainkan alat-alat musik. Kekompakan antara satu dengan yang lain menghasilkan keterpaduan nada dan suara, hingga menciptakan suara-suara yang dapat membuat gila para pendengar.
Sazkia tidak lantas pergi, justru mengambil kursi dan duduk di samping Billy. Teman-teman mulai geram melihatnya. Ingin sekali mengusirnya, namun mereka masih berpikir panjang untuk tidak menyakiti perasaannya. Billy yang berada didekatnya, merasa risih dengan perbincangannya yang tidak penting. Apalagi ia tahu bahwa Sazkia sejak kelas X menyukai Billy, bahkan ia menyatakan perasaaannya terlebih dahulu pasca turun dari panggung pentas seni tahun lalu. Dan sampai detik ini Billy tidak pernah menggubris bahkan sering menolaknya mentah-mentah. Namun Sazkia tidak pernah kapok untuk menghantui kehidupan Billy. Wajah innocent seringkali menutupi sakit hati Sazkia, berubah menjadi cewek yang tak kenal putus asa untuk mengejar sang idola. Beda dengan Sofia, walaupun ia memendam perasaan yang sama, mengidolakan Billy, tidak serta merta menunjukkan sikap aneh. Ia lebih bisa mengendalikan dirinya untuk tetap tenang, seolah tidak ada perasaaan apa-apa. Tidak ada kata idola terucap dari bibirnya.
“Kamu tidak mau traktir aku juga, tah?” Sazkia semakin menjadi. Sofia merasa tidak nyaman melihat pemandangan di depan mata. Ia seperti ingin menonjok gadis yang ada di dekat Billy. Acara makan-makan ini tidak benar-benar bisa dinikmati. Bakso yang mulai mendingin dibiarkan saja oleh Billy dan Sofia, sementara teman yang lain menghabiskan makanan itu meski sedikit terganggu. Dalam suasana yang tidak enak ini, Billy menatap Sofia dengan wajah bersalah. Dan Sofia bisa membaca tatapan wajah itu.
Saat Sazkia mulai memegang lengan Billy, disitulah Billy mulai bertindak. Ia menolak dengan keras sehingga hampir membuat Sazkia terjatuh. Lalu berdiri.
“Dengar ya! Aku tidak mau diperlakukan seperti itu. Aku sudah punya pacar. Kamu bisa lihat wajah gadis yang duduk di samping Fariha?” Billy berkata dengan amarah. Semua mata tertuju pada Sofia. Teman-temannya juga tidak percaya kalau selama ini Billy mempunyai jalinan khusus dengan Sofia. Sazkia lebih terkejut lagi mendengar pernyataan Billy. Dan merasa tidak terima dengan kenyataan yang ada. Menurut Sazkia, Sofia kalah banyak darinya. Sazkia adalah seorang model di sekolah. Ini merupakan prestasi yang cukup prestisius. Sedangkan Sofia adalah gadis biasa yang menurutnya tidak memiliki prestasi. Selain itu, Saszkia lebih cantik daripada Sofia. Bagaimana mungkin seorang Billy bisa memilih Sofia yang tidak pernah merawat diri dengan kosmetik? Yang tidak punya prestasi sama sekali. Tidak terkenal di sekolah. Saat Sazkia sibuk memikirkan ketidak-adilan itu, Sofia justru memikirkan pernyataan Billy yang mengakuinya sebagai kekasih. Ia cukup terkejut, bisa-bisanya Billy berkata demikian, padahal mereka tidak pernah membuat perjanjian sebelumnya. Tidak ada kalimat yang terucap untuk menjalin hubungan kasih.
Billy kemudian mengajak Sofia pergi. Layaknya pasangan kekasih, Sofia menuruti ajakannya, membuntuti Billy. Kemudian diikuti teman-teman yang lain. Menuju kelas masing-masing, menyisakan Sazkia yang masih sebal dengan kabar yang baru saja didengar langsung dari mulut Billy. Ia mengomel-ngomel sendiri karena tidak terima dengan kabar buruk itu.
“Maafkan aku, Sofia!” Billy memelankan langkahnya. Merasa perlu mengatakan maaf, menyadari bahwa kesalahannya cukup fatal, dengan mempermalukan Sofia di depan teman-temannya.
Sofia hanya diam dan menunduk. Wajahnya sangat misterius. Billy berusaha meraih tangannya untuk meminta maaf. Namun Sofia menolaknya untuk disentuh. Walau ia menyadari sebagai keturunan pesantren yang kurang layak jadi panutan, ia tetap berpegang teguh untuk tidak bersentuhan dengan lawan jenis. Selain saudara dan ayahnya. Prinsip itu ia terima dan tanam sejak belum baligh. Sofia terus berjalan, kali ini semakin mempercepat langkahnya agar tidak berjejer dengan Billy.
“Sofia!” Billy memanggil sedikit keras dan terdengar tegas, setelah sadar langkahnya semakin jauh dari badannya. Sofia yang mendengar suara tegas itu, berhenti kemudian menoleh pada Billy, “tadi aku memang bercanda di depan teman-teman, tapi perasaanku serius, aku suka kamu.” Tambah Billy disertai wajah memelas. Ia sama sekali tidak menghiraukan para siswa yang berseliweran di lorong-lorong sekolah. Mengalihkan perhatian padanya.
Sofia meninggalkan Billy dengan perasaan yang masih ganjil. Sofia marah karena kejadian tadi benar-benar membuat malu dirinya, yang disaksikan teman-temannya. Tapi juga bahagia mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Billy. Dari dulu Sofia sudah mengidam-idamkan lelaki itu; tampan, gaul, punya suara bagus. Semua gaya dan penampilan Billy diam-diam disukai oleh Sofia. Sampai saat ini, tidak ada seorang pun yang tahu itu.