Gadis Pesantren

Fitria Sawardi
Chapter #8

Kabur

Kebahagiaan dan kesedihan terkadang datang tiba-tiba. Kala kebahagiaan datang menjelma perasaan manusia, kesedihan kian bersembunyi dalam suatu ruang yang berbeda. Tapi, setelah kebahagiaan itu hilang ditelan masa, maka waktu akan mengirim suatu kesedihan. Mengganti posisi kebahagiaan untuk menjelma perasaan manusia. Ada kalanya kebahagiaan dan kesedihan datang secara bersamaan. Keduanya berkelana dalam ruang-ruang perasaan yang bisa dijajaki. Menciptakan kelabu. Kalau sudah demikian, hanya sang pemilik perasaan yang mampu menentukan seberapa banyak porsi keduan tamu itu menduduki perasaannya. Lebih banyak kebahagiaan atau kesedihan. Dari sekian kesempatan, tidak banyak yang mengalami perasaan kelabu. Itu artinya, kebahagiaan dan kesedihan lebih sering datang secara bergantian daripada bersamaan. Setelah kesedihan lenyap, akan datang kebahagiaan. Begitu juga sebaliknya. Hal ini yang sekarang dialami Sofia.

Kebahagiaan hadir dalam diri Sofia. Ia mendegarkan sebuah kabar baik dari orang tuanya melalui telepon pesantren. Lebih tepatnya, suara dibalik telepon itu tidak lain adalah ummahnya. Mengabari kalau perjodohannya tidak bisa diteruskan. Orang tua pihak lelaki memohon maaf karena tidak bisa menunggu Sofia terlalu lama. Anak lelakinya harus segera menikah, mengingat usianya sudah tidak muda menurutnya. Pekerjaan sudah mapan, bekal ilmu agama dan umum sudah cukup bagus. Itu yang menjadi alasan orang tuanya untuk menikahkan lelakinya dengan segera. Tentunya dengan wanita lain yang sudah siap menikah. Tidak perlu menunggu Sofia yang masih fokus pada belajarnya.

Mendengar kabar itu, sungguh membuat diri Sofia merasa lega. Beban yang terlanjur menumpuk dalam tubuhnya kini menghilang. Bagaikan hati yang terlanjur tertindih batu, lalu hengkang diterbangkan angin. Bagaikan pernapasan yang terikat kawat besi, lalu terlepas dengan sendirinya. Iya benar. Gagalnya perjodohan itu sudah cukup menyembuhkan perasaan Sofia dari beban yang berkarak. Kebahagiaan sepenuhnya memenuhi perasaaan Sofia. Namun tidak lama setelah Sofia merasa bahagia, ummahnya melanjutkan ceritanya melalui telepon itu. Mengabarkan kalau Sofia diminta oleh keluarga pesantren Bangkalan untuk dijadikan menantu. Orang yang meminta Sofia sebagai menantu adalah saudara abahnya, yang kapan hari menikahkan anak pertamanya di Bangkalan. Lelaki yang akan dijodohkan dengan Sofia adalah anak nomor dua. Adik dari kakak yang baru saja menikah_yang pernikahannya sempat Sofia kunjungi beberapa hari yang lalu. Namun, itu bukan adik kandungnya, melainkan adik angkat. Kiai itu sengaja mengadopsi anak itu sebagai anak kandung dari gurunya yang sekarang sudah wafat.

Dari cerita ummahnya, sebenarnya niat keluarga pesantren Bangkalan untuk menjodohkan putranya dengan Sofia sudah lama direncanakan. Namun karena keduluan keluarga pesantren dari Pamekasan, akhirnya mengurungkan niat. Dan setelah mendengar kabar kalau perjodohan Sofia dibatalkan, keluarga Bangkalan langsung maju untuk besanan. Berarti Sofia akan menikah dengan sepupunya sendiri, walaupun bukan sepupu asli. Sepupu angkat. Mendengarkan cerita itu sama saja dengan mencabik-cabik hatinya. Merasa tak mampu menahan kesedihannya, Sofia menangis sejadi-jadinya. Membiarkan air matanya berselancar bebas. Membasahi pipinya. Menggenang di kedua telapak tangannya. Serta melembabkan beberapa bagian sisi kerudungnya. Dalam tangisan itu, ia merasa jijik karena akan dijodohkan dengan lelaki yang masih punya hubungan keluarga. Yang sangat dekat. Jika membandingkan dengan perjodohan sebelumnya, ia paling tidak terima dengan perjodohan kali ini. Bagaimana mungkin ia memadu kasih dengan kerabat sendiri? Seiring ia menuntut dengan pertanyaan, pikirannya mulai tidak karuan

Sofia tidak habis pikir mengenai keputusan orang tuanya. Apa yang ada di pikiran mereka, sehingga sangat berambisi untuk menjodohkan anaknya. Apakah menikah dengan sesama keturunan pesantren menjadi satu-satunya cara untuk mendapatkan keturunan yang saleh dan salehah. Sepertinya tidak. Sofia menyadari itu. Buktinya banyak di luar sana. Pernikahan orang biasa yang bisa melahirkan putra-putri yang baik. Sofia mulai berburuk sangka. Jangan-jangan skandal perjodohan itu dilakukan sebagai pelampiasan gengsi. Pemilik darah biru harus menikah dengan keturunan darah biru.

“Aku tidak mau, Ummah.” Sofia menolak secara terang-terangan, dengan nada yang sedikit ditinggikan untuk membuktikan keseriusannya. Hatinya sangat kecewa atas orang tuanya yang telah mengambil keputusan tanpa minta persetujuan terlebih dahulu.

“Itu sudah menjadi keputusan abahmu!” Ummahnya menjelaskan, sebenarnya beliau tidak terlalu berambisi untuk menjodohkan anaknya. Tapi abahnya sudah menyetujui lamaran itu. Ummah yang lebih dekat dengan anaknya, diminta untuk menyampaikan berita itu, dan berusaha untuk meyakinkan anaknya agar lebih mantap serta menerima mau perjodohan itu.

“Mengapa hanya Sofia yang dipaksa dalam perjodohan ini?” Sofia merasa iri karena ia masih punya abang, yang masih melanjutkan pendidikan sarjana. Sofia jengkel karena hanya ia yang dipaksa dalam hal perjodohan, sedangkan abangnya tidak pernah sekalipun dijodohkan.

“Kamu itu perempuan, sudah menjadi kewajiban abahmu untuk menikahkan dengan orang yang baik. Abangmu laki-laki, yang bisa menikah lebih lambat, karena harus mencari pekerjaan yang mapan agar mampu menafkahi keluarga barunya.” Ummahnya mencoba mengucapkan kalimat dengan sangat hati-hati agar dapat dipahami dengan baik oleh Sofia.

Sofia masih belum terima dengan keputusan orang tuanya. Apapun alasannya, ia tetap tidak bisa terima. Segelas air mineral diteguknya setelah menutup telepon dari ummahnya. Masih dengan gelas yang dibiarkan berada di genggamannya, ia memikirkan lagi keputusan yang sangat membuatnya sakit. Menyesakkan dada.

***

Sikap para santri pada Sofia sudah berbeda sejak diketahui bahwa ia adalah keturunan pesantren. Walaupun bukan anak dari keluarga pesantren tempat nyantri yang sekarang, namun mereka tetap menghormati Sofia bagaikan putri kiai. Layaknya orang mulia yang harus dihormati dan diperlakukan dengan baik. Mereka masih menganut kepercayaan barokah dan laknat. Tentunya para santri menghindari yang namanya laknat dan akan berlomba-lomba untuk mendapatkan barokah. Salah satunya dengan menyenangkan dan menghormati keluarga pesantren. Tapi ternyata, tindakan para santri dalam memuliakan Sofia termasuk cara yang salah. Mereka tidak tahu sedang berhadapan dengan keluarga pesantren yang beda arah. Jauh dari biasanya. Yang memiliki pemikiran berbeda, juga tidak lazim dari yang sudah ada.

Lihat selengkapnya