Kabar Sofia kabur dari pesantren menyebar rata ke telinga para santri. Mereka diliputi rasa penasaran. Kemudian bertanya-tanya terkait tindakan yang akhirnya dipilih Sofia itu. Kemudian menjawab-jawab sendiri apa penyebab gadis keturunan kiai itu kabur. Tidak hanya dari kalangan para santri, orang tua Sofia pun telah mendengar kabar itu. Rupanya keluarga pesantren_tempat Sofia nyantri, langsung mengabari pada orang tua Sofia setelah dipastikan gadis itu benar-benar tidak ada di pesantren tanpa memberi kabar sedikit pun.
Orang tua Sofia yang mendengar itu terperanjat. Dan tak perlu berpikir lama untuk mendatangi pesantren Sofia. Memastikan pada kiai dan nyai mengenai kronologi kaburnya Sofia. Belum puas dengan cerita yang disampaikan keluarga pesantren Pati mengenai kejadian itu, akhirnya orang tua Sofia mengajak Fariha ke suatu tempat. Dibawanya Fariha ke tempat makan, yang tidak jauh dengan pesantren, kemudian orang tua Sofia memesan beberapa menu makanan. Ada ayam bakar, berbagai jenis ikan seafood yang dimasak dengan kuah atau crispi. Meski demikian, Fariha tidak begitu berselera dengan semua menu makanan yang tersedia. Beberapa kali orang tua Sofia menawarkan dengan senang hati untuk memilih menu pesanan sendiri, namun berakhir pada kalimat 'boten usah repot-repot'. Fariha mengikuti apapun menu yang dipesan oleh orang tua Sofia. Tidak seperti biasanya, Fariha menolak makanan yang menurutnya lezat. Nafsu makannya ditelan oleh cuaca yang berkabut. Pikirannya buntu. Rasa takut pun muncul saat ia mengingat keberadaannya di sini. Orang tua Sofia pasti akan melakukan penyelidikan. Berbagai pertanyaan akan bermunculan setelah ini, sedangkan ia tidak tahu dengan pasti perihal tindakan Sofia yang nekat untuk kabur dari pesantren.
“Kamu tahu dimana Sofia? Ummah Sofia mencoba untuk memancing dengan pertanyaan, sementara abah Sofia meneguk secangkir kopi sembari memerhatikan ekspresi wajah Fariha serta menunggu jawaban yang akan dilayangkan dari bibirnya.
“Kulo boten ngertos, Ummah.” Fariha menunjukkan wajah yang meyakinkan. Berharap orang di depannya tak menjejal dengan pertanyaan lain. Ia sudah terbiasa memanggil ummah pada ibu Sofia karena menganggap sebagai ibu sendiri. Dan ummah Sofialah yang kapan hari memintanya untuk dipanggil ummah. Meski demikian, penggunaan panggilan akrab itu tak memuluskan perasaan Fariha untuk kabur dari rasa gugup.
“Menurut kamu, Sofia perginya kemana?” Ummah Sofia bertanya lagi. Setelah menyadari remaja seusia putrinya itu menyimpan rasa gugup, ia mengeluarkan kalimat tanya dengan nada berhati-hati.
“Kurang tahu, Ummah. Sofia tidak pernah cerita sebelumnya.” Demi mengusir rasa gugup, Fariha kali ini merubah posisi duduknya. Dari aroma wajah itu, tampak ekspresi kata jujur dalam diri Fariha yang ditangkap dengan baik oleh Ummah Sofia. Tapi tak lantas membuat ummah berhenti dengan pertanyaan.
“Apa Sofia punya masalah?” Ummah Sofia menjejali dengan pertanyaan baru. Sepasang matanya menerawang pada pemilik dua bola mata mungil di depannya.
Walau tidak benar-benar menjawab dengan pasti pertanyaan ummah, Fariha akhirnya menceritakan semuanya; bahwa teman dekatnya itu tidak betah di pesantren karena sikap para santri yang membuatnya tidak nyaman. selain itu, masalah yang paling besar yang justru membuat Sofia hampir stres adalah karena perilaku orang tuanya yang tega menjodohkan tanpa memerhatikan perasaan Sofia, seolah-olah ia tidak punya hak untuk memilih pasangan hidupnya, seolah-olah ia tidak akan pernah mendapatkan masa depan yang menyenangkan. Orang tua yang mendengar cerita itu, kemudian saling pandang, seperti merasa bersalah dengan tindakan yang sudah diputuskan, di satu sisi mereka juga memikirkan tentang harga diri pesantren jika tidak melakukan perjodohan itu.
“Apakah Sofia punya pacar?” Ummah Sofia lagi-lagi bertanya. Membiarkan makanan itu dingin dengan sendirinya, karena pelayan sudah sedari tadi meletakkan pesanan di atas meja dan mereka belum sempat menjamahnya. Pertanyaan itu sepertinya mengandung trik untuk memancing Fariha agar mendapatkan informasi lebih banyak.
“Sepertinya tidak punya, Ummah. Tapi ia menyukai seseorang.” Fariha menjawab dengan lancar. Sepertinya rasa gugup mulai hengkang dari perasaannya, setelah banyak cerita yang berhasil ia perdengarkan pada ummah.
“Siapakah orang itu?” Lagi-lagi ummah Sofia bertanya dengan nada pelan. Disertai senyum mengembang. Sedangkan abah Sofia masih betah dalam diam sembari mendengarkan perbincangan keduanya.
Fariha mulai menceritakan secara detail tentang pemuda yang disukai Sofia. Pemuda yang dincintai itu bukan pemuda biasa. Ia memiliki keindahan suara yang khas dan tersebar luas. Ulet dalam memadukan nada musik dengan setiap lagu yang dibawanya. Memiliki penampilan cool dan wajah tampan untuk ukuran remaja. Kelebihan-kelebihan itu membuat namanya terkenal di berbagai penjuru kota ini. Ditambah dengan prestasi; berbagai kejuaaraan yang didapatkan dalam bidang musik membuat semua orang memercayai bakatnya. Warga sekolah bangga memiliki siswa dengan panggilan akrab Billy itu. Bukan tidak mungkin banyak wanita yang mengidolakan bahkan ingin menjadi kekasihnya. Namun, Billy tidak pernah memikirkan untuk pacaran. Saking asyiknya menggeluti dunia musik. Kabar terakhir, Sofia dan Billy saling suka, namun hubungan mereka belum terlanjur jauh. Hanya sebatas suka, belum sampai pacaran. Entah karena Billy belum sempat memancing agar lebih dekat atau ada hal lain yang membuatnya tetap stagnan, pada hubungan sebatas suka. Sedangkan Sofia, pernah mengakui sendiri. Walaupun ia suka dengan lelaki itu, ia tidak berniat untuk pacaran. Namun ia menaruh harapan besar untuk bisa menjadi kekasih Billy suatu saat nanti. Kekasih halal. Di waktu yang tepat. Setelah mereka berhasil menempuh pendidikan masing-maisng di perguruan tinggi. Dari kelebihan yang dimiliki Billy, dan rasa suka yang dimiliki Sofia. Ada hal yang sangat disayangkan. Billy bukanlah pemuda yang paham betul tentang agama. Baca aksara Arab masih terbata-bata, bahkan Fariha sering menjumpai Billy meninggalkan salatnya saat di sekolah. Sebagai teman anggota band, Fariha sedikit banyak tahu tentang pemuda yang dicintai Sofia.
Kedua orang tua Sofia mengernyitkan dahi setelah mendengar bahwa pemuda yang dicintai anaknya tidak begitu taat agama. Yang menjadi masalah adalah bukan soal pemuda yang bukan dari keturunan pesantren, namun soal pemuda yang tidak begitu peduli pada agamanya. Apa jadinya jika Sofia menikah dengan pemuda itu. Sudah pasti tidak bisa diharapkan menjadi imam yang layak. sSudah tentu tidak akan bisa membimbing Sofia menuju rumah tangga yang baik.