Orang tua Sofia tidak tinggal diam. Apalagi hanya duduk termangu, menunggu informasi tentang pemuda yang disukai putrinya. Mereka meminta bantuan pada keluarga pesantren di Pati untuk menemukan identitas pemuda itu. Atas bantuan tim keamanan pesantren_ yang salah satunya juga bersekolah di tempat yang sama dengan Sofia, meminta informasi penting pada sekolah tanpa sepengetahuan Sofia. Informasi pun berhasil didapatkan dari wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, dengan perjanjian untuk tidak menyalahgunaan informasi mengenai identitas Billy.
Sofia mungkin saja mengira bahwa orang tuanya sudah pulang ke kampung halaman. Namun nyatanya mereka masih berada di Pati. Menginap di pesantren, tempat Sofia nyantri. Bersama keluarga pesantren, orang tua Sofia mencari rumah Billy sesuai dengan alamat yang berhasil didapatkan dari sekolah. Tidak sulit untuk menemukan rumah Billy, yang masih terhitung satu kecamatan dengan pesantren Pati. Apalagi daerah rumah Billy merupakan salah satu daerah yang dikunjungi kai Pati untuk kepentingan dakwah.
Mobil betengger di halaman depan yang gerbangnya terbuka lebar. Keluarga pesantren turun satu per satu dari mobil avanza keluaran baru. Rumah yang dikunjunginya tidak begitu mewah. Di bagian depan rumah, tepat di sisi kanan, ada ruang berbentuk kotak kecil khusus untuk menjual HP berikut aksesorisnya. Pada bagian depan yang bisa disebut toko HP itu bisa ditutup dan dibuka dengan tutupan yang terbuat dari galvalum berwarna silver dan pada beberapa bagiannya terdapat baja. Lelaki separuh baya muncul dari dalam ruang toko, memicingkan mata pada mobil yang terparkir di halaman rumahnya. Usai melayani pembeli charger HP, lelaki itu mendekat. Menuju halaman rumahnya dengan langkah ragu-ragu. Karena ia sendiri masih belum yakin bahwa pemilik mobil itu benar-benar mengunjungi rumahnya atau hanya menumpang parkir_seperti yang sudah-sudah.
“Mohon maaf, apa benar ini rumah Billy?” Kiai pesantren bertanya dengan sikap santun, sambil melontarkan senyum ramah.
“Iya, betul.” Lelaki paruh baya mengenali sosok lawan bicara dari beberapa pengajian yang diikutinya. Dengan sikap takzim, lelaki itu membenarkan. Sementara hatinya dirundung rasa penasaran. Ada apa kiranya keluarga pesantren mencari anaknya. Sepanjang yang ia tahu, Billy sepertinya tidak pernah ada urusan dengan keluarga pesantren.
“Apakah dia sedang di rumah sekarang?” Kiai pesantren bertanya lagi.
“Kebetulan sedang di rumah.” Tanpa basa-basi, Lelaki paruh baya itu mempersilakan tamunya masuk. Sosok lelaki paruh baya itu tidak lain adalah ayah Billy. Ia mengarahkan jempol kanannya ke pintu masuk untuk mempersilakan tamunya. Ayah Billy sebagai masyarakat Pati tentu senang didatangi oleh kiai terhormat dan terkenal di kotanya. Salah satu sikap takzim ditunjukkan oleh ayah Billy yakni mengarahkan keluarga pesantren dengan sikap sedikit menunduk.
Mereka menuju ruang tamu yang sangat sederhana. Kursi dan mejanya terbuat dari kayu. Taplaknya terbuat dari kain yang tidak begitu mewah. Ibu Billy keluar dari dapur dengan teh hangat yang berjejer rapi pada talam yang digenggamnya. Beberapa cangkir itu kemudian ditata pada meja yang dikelilingi keluarga pesantren. Sebenarnya Ibu Billy merasa malu karena hanya bisa memberi suguhan teh. Seharusnya ada susu atau jus buah menghiasi mejanya. Namun ia tidak punya persediaan lagi, sementara ia belum sempat pergi ke toko minuman. Andaikan ia tahu akan kedatangan tamu terhormat, sudah tentu lebih dulu bersiap-siap dengan berbagai hidangan yang layak.
Usai meletakkan teh, Ibu Billy mengambil aneka kue yang terletak di meja kecil. Tidak jauh dengan ruang tamu, namun meja itu disekat dengan kain penutup sehingga tidak kelihatan dari ruang tamu. Keluarga pesantren menikmati suguhan yang diberikan keluarga Billy setelah dipersilakan. Billy dan ayahnya baru saja muncul dari ruang kamar ukuran standar. Tidak hanya bapak Billy yang penasaran, sang anak juga dihantui rasa ingin tahu. Ada apa kiranya keluarga pesantren sampai-sampai ingin bertemu dengan Billy. Senang karena bisa dikunjungi keluarga pesantren, namun juga ada rasa khawatir yang mengganjal hatinya. Pasti ada hal serius yang ahrus dibicarakan. Karena jarang sekali keluarga pesantren membuang-buang waktu, utnuk mengunjungi rumah masyarakat biasa jika tidak ada hal penting. Urusan dakwah tentu lebih penting dari sebuah kunjungan tanpa tujuan.
“Begini Pak, Bu.” Kiai pesantren membuka pembicaraan setelah semuanya duduk di kursi yang warnanya mulai memudar. Demi menghormati orang yang berbicara, semua penikmat teh meletakkan gelas ke atas meja.
“Iya.” Ayah dan ibu Billy merespon dengan kompak. Lalu membenarkan posisi duduknya sembari menunggu kalimat selanjutnya yang akan dilontarkan oleh kiai pesantren.
“Kami mendengar kabar kalau Billy dan Sofia saling sukai.” Ayah dan ibu Billy saling bertatap, bingung dengan kalimat yang dilontarkan kiai.
Masih seksama mendengarkan kalimat selanjutnya, semuanya pendengar bersikap sunyi. Kiai pesantren menjelaskan secara gamblang, bahwa Sofia adalah keturunan keluarga pesantren yang sudah dijodohkan dengan kerabat yang juga merupakan keturunan pesantren. Maksud kedatangan keluarga pesantren ke rumah Billy adalah meminta dengan hormat agar Billy menjauhi Sofia agar tidak mengganggu status perjodohan yang telah direncanakan keluarga pesantren. Kepada orang tua Billy, kiai meminta bantuan untuk terus memotivasi anaknya agar menjauhi Sofia dengan cara tidak memberi sinyal apapun yang menunjukkan rasa suka agar tidak berlanjut begitu jauh.
Tidak hanya itu, keluarga pesantren meminta kesepakatan agar Billy tidak berkomunikasi dengan Sofia Walaupun itu hanya untuk komunikasi biasa. Menghindari komunikasi sama saja dengan tidak memberi harapan pada gadis itu. Orang tua Billy masih mendengarkan sambil menundukkan kepala. Hatinya malu karena mendapati anaknya telah membuat masalah dengan keluarga pesantren. Sebagaimana biasanya, masyarakat harus takzim pada keluarga pesantren dengan menjaga sikap dan mempunyai rasa sungkan tentunya.