Di ruang yang berbeda. Dengan suasana yang berbeda pula. Sofia mencoba untuk menutup lembaran lama, dan membuka lembaran baru. Ia berusaha untuk menciptakan suasana senyaman mungkin agar betah dalam menjalani aktivitas baruya. Setelah peralatan desain lengkap, ia mulai mengambil posisi yang nyaman. Duduk di kursi kayu. Tangan kanannya mulai meraih pensil. Otak kanannya memberikan sinyal pada jemarinya untuk menggerak-gerakkan pensil pada kertas putih polos. Tangan kirinya ikut andil, dengan memegangi kertas yang tertimpa polesan pensil. Kedua bola matanya mengamati secara detail garis demi garis bekas goresan pensil. Secepat konsentrasinya bekerja, karya seni pun terbentuk. Sketsa seorang perempuan dengan mengenakan baju terusan sudah bisa dinikmati. Ia menimang-nimang kertas yang memuat buah karyanya. Ada rasa bangga menyelinap, hingga ia tak bisa menahan diri untuk mengembangkan senyum. Pola baju gamis ini merupakan desain pertama yang akan ia realisasikan menjadi bentuk nyata.
Hari demi hari menjelma aktivitas desain. Sofia mulai mendesain berbagai jenis pola baju. Mulai dari pakaian santai sampai dengan pakaian resmi. Mulai dari baju rumahan sampai dengan kebaya. Dengan menyendiri di kamar yang telah disediakan bu nyai, membuat Sofia bermunculan ide-ide inspiratif. Ia segera menulis pola desain ketika ide sudah menari di otaknya. Bahkan belum selesai pola yang satu, ada ide lain yang bermunculan. Sehingga ia segera membuat pola desain yang bermunculan dari idenya. Pikirannya disibukkan dengan dunia desain, sehingga ia benar-benar melupakan lelaki yang pernah masuk ke dalam hatinya, yang telah menyentuh jiwanya. Dan juga telah menyabik perasaaanya, hingga ia memutuskan untuk mengakhiri dengan rasa benci. Dan dari sini, ia belajar untuk melupakan.
Di kamar itu, tertempel kertas-kertas di dinding, bertuliskan pola desain pakaian yang berhasil dibuat oleh Sofia. Di dinding itu sudah terlihat penuh dengan kertas, hampir tidak ada celah. Melihat tempelan desain itu menghiasi penuh dinding kamarnya, akhirnya Sofia mulai eksekusi. Membuka buntalan kain yang masih tersegel dengan platsiknya. Berdasarkan panduan buku yang dibelinya, ia mulai mengecek fungsi mesin jahit dan cara penggunaannya. Kamar ini memang disulap seperti rumah desain pakaian, bu nyai menyediakan fasilitas itu atas permintaan ummah Sofia.
Sekarang Sofia sudah tidak lagi makan bersama teman kamar, karena bu nyai meminta untuk makan bersama di ruang makan ndalem[1]. Sehingga membuat Sofia semakin jarang berkomunikasi dengan Fariha yang memungkinkan akan mudah membuka kenangan Billy. Sofia mulai mengguntingi kain sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan. Kemudian ia meletakan bagian sisi kain di bawah jarum mesin jahit. Tangan kirinya memegangi kain agar posisinya tidak berubah-ubah, sedangkan tangan kanannya memutar kendali mesin jahit agar bisa berjalan. Bagian sisi samping kain itu kemudian berhasil merekat dengan ikatan benang yang dihasilkan dari mesin jahit. Sofia masih terlihat kaku dalam menjalankan mesin jahit, hasil pakaian yang dibuat masih belum rata sisi kanan dan kiri, namun ia tidak putus asa. Ia mengambil lagi satu desain yang ada di dinding, kemudian mencobanya lagi untuk menjahit. Ia sudah mempunyai bakat turunan dari ummahnya, hanya saja ia masih butuh banyak latihan agar skilnya lebih terasah.
Bu nyai mengetuk pintu saat Sofia lagi sibuk menjahit, dengan terpaksa ia menghentikan aktivitas itu. Yang dibukakan pintu tersenyum mengembang, Sofia langsung mempersilakan masuk.
“Bagaimana? Apa sudah ada hasilnya?” Bu nyai duduk bersama Sofia di kasur springbed, menanyakan pada Sofia karena sudah lama menyepi di kamar.
“Ini masih mencoba-coba, hasilnya belum maksimal, Nyai.” Sofia merasa senang karena ditanya hasil kerjanya, Itu berarti ada yang memperhatikan proses Sofia, dalam menggeluti hobinya.
“Wah sudah bagus itu, prosesnya begitu cepat.” Bu nyai memuji sambil mengelus kepala Sofia dengan lembut, layaknya anak sendiri.
“Terima kasih, Nyai.” Sofia tersipu malu karena dipuji oleh orang yang mulia di pesantren ini.