Gadis Pesantren

Fitria Sawardi
Chapter #14

Pameran Budaya

Pameran budaya menjadi salah satu acara tahunan di sekolah Sofyan, anak keluarga pesantren. Adanya pameran ini bertujuan untuk melestarikan budaya Indonesia yang mulai luntur. Selain itu, adanya pameran ini bertujuan untuk meningkatkan ketertarikan siswa agar mencintai budaya sendiri. Dengan demikian, budaya akan lestari. Salah satu pameran budaya yang ditampilkan dalam acara ini adalah menyanyikan lagu daerah, membuat stand miniatur budaya daerah-daerah Indonesia. Semua siswa yang hadir dalam acara ini wajib mengenakan baju batik dari berbagai daerah. Setiap kelas dibagi untuk menggunakan batik daerah tertentu. Dan di kelas Sofyan mendapatkan undian untuk menggunakan batik Madura. Sesuai dengan inntruksi gurunya, Sofyan dan beberapa teman yang telah dipilih akan menjadi guide yang akan mengarahkan Bapak Dinas Pendidikan kota Pati untuk menuju stand ke stand sekaligus memberi penjelasan jika ada yang tidak dipahami oleh kepala Dinas.

Sofyan merayu pada bu nyai agar dibelikan baju batik khas Madura yang motifnya bagus untuk dipersembahkan pada Bapak Kepala Dinas. Tidaka da pikiran untuk menyewa kostum batik Madura. Juga tidak ada rencana untuk membeli baju siap pakai. Tidak berpikir panjang, bu nyai teringat pada Sofia. Bu nyai langsung menceritakan pada Sofia, mempercayakan semuanya pada Sofia. Sanggup tidak sanggup, Sofia mengiyakan apa yang sudah dipercayakan bu nyai kepadanya. Ia akan berusaha semaksimal mungkin agar bisa membuat baju batik Madura dengan pola yang spektakuler, yang jarang dibuat orang-orang.

Bu nyai meminta Fatih untuk mengantarkan Sofia belanja bahan-bahan kostum yang akan dipakai Sofyan. Bersama Sofyan dan Sofia, Fatih menyetir mobil menuju toko khusus menjual kain batik Madura. Tidak susah untuk mencari batik daerah itu, karena pemasarannya sudah meluas, bahkan sampai Pati Jawa Tengah.

“Kamu pandai buat baju?” Fatih sok akrab, mencairkan suasana yang sedari tadi terlihat kaku.

“Tidak juga.” Sofia mengelak, tidak mau dipuji sebelum ada bukti, sebenarnya ia juga khawatir jika kain yang akan disulap menjadi baju itu tidak sesuai harapan. Tentu akan mengecewakan Sofyan, terutama bu nyai yang telah menaruh percaya.

“Kalau tidak bisa, tidak mungkin ummi memintamu untuk membuat kostum Sofyan.” Fatih melihat Sofia dari kaca mobil bagian depan. Sofia duduk di kursi tengah, sedangkan Fatih menyetir di depan. Tidak mungkin Fatih menoleh ke belakang secara langsung untuk bisa melihat ekspresi wajah Sofia. Maka melalui media kaca mobil itu, Fatih menunggu jawaban Sofia serta akan melihat mimik wajahnya saat memberi ajwaban. Sedangkan Sofyan masih dengan wajahnya yang sedikit mengantuk, merebahkan tubuhnya di kursi depan, di samping Fatih.

Sofia tidak merespon, entah karena malas atau karena tidak tahu harus menjawab seperti apa. Ia kemudian menoleh ke arah jendela mobil, melihat pemandangan pohon yang seperti berjalan sendiri. Padahal sebenarnya yang berjalan bukan pohonnya, tapi Sofia. Namun seolah-olah pohon itu yang berjalan karena dibawa oleh mobil yang melaju dengan kecepatan sedang.

“Aku percaya kamu bisa.” Fatih mengeluarkan suara lagi, karena Sofia tidak merespon.

Sofia lagi-lagi tidak merespon perbincangan Fatih. Kali ini ia memang malas untuk meladeni lawan bicanya. Menurutnya terlalu membual, karena Sofia sendiri masih belum bisa membuktikan keahliannya itu. Dan semakin Fatih memujinya, semakin muncul jua rasa takut dalam dirinya. Takut jika pakaian yang dihasilkan tidak maksimal. Ia hampir tidak bisa membayangkan, bagaiamana kecewanya bu nyai. Dan betapa ia tidak mampu membayangkan Sofyan menangis karena tidak puas dengan baju yang dikenakan.

“Kamu puasa berbicara?” Fatih tidak ada kapoknya dicuekin lawan bicaranya. Masih saja menyemburkan dengan kalimat yang justru membuat telinga Sofia panas.

“Malas saja.” Sofia merespon ketus karena disembur celoteh secara terus menerus oleh Fatih.

Perjalanan yang kaku. Karena Sofia tidak mau berkompromi untuk merespon pembicaraan. Perjalanan ini begitu menyebalkan bagi Sofia. Untungnya, ia bisa melewati perjalanan ini. Mobil sudah sampai di toko batik yang diinginkan bu nyai. Akhirnya, ia bisa mengeluarkan napas lega.

“Silakan dipilih, Mbak!” Penjual kain menjelaskan pada Sofia mengenai jenis-jenis kain batik yang dipajang, setelah mengungkapkan kelemahan dan kelebihannya. Sofia yang mendengarkan penjelasan itu mengangguk-anggukan kepala. Membuktikan bahwa ia sangat memerhatikan dan membutuhkan penjelasan itu.

“Bagaimana menurutmu?” Sofia bertanya pada Fatih mengenai kain yang dipilihnya. Walau masih menyimpan rasa jengkel, ia tetap membutuhkan pendapat seseorang. Agar pilihannya tidak terkesan subjektif. Mungkin pendapat Fatih memberikan keuntungan baginya. Sengaja tidak bertanya pada Sofyan karena dipastikan ia tentu tidak bisa memutuskan dan menentukan kain mana yang akan dipilih. Ia tidak begitu paham soal kain, juga tidak cukup punya nalar untuk mengeluarkan pendapat.

“Kalau menurutmu bagus, berarti bagus. Aku ikut saja.” Fatih yang diharapkan bisa membantu Sofia untuk memberi keputusan, justru tidak mengeluarkan pendapat. Sofia menyesal telah bertanya, ini sungguh membuang-buang waktu. Kalau tahu begini, ia pasti akan memilih untuk tidak berbicara padanya. Membiarkannya tahu bahwa Sofia sedang jengkel. Ah, sudahlah. Ini sudah terlanjur, pekik Sofia dalam hati.

“Oke lah.” Sofia akhirnya memilih pilihannya sendiri tanpa meminta pertimbangan lagi pada Fatih. Setelah ini, ia bisa menutup mulutnya untuk mengurangi komunikasi.

“Kamu tidak marah kan?” Fatih memastikan pada Sofia, karena melihat ekspresi wajahnya yang kusut.

Sofia tidak memberi jawaban. Ia benar-benar malas meladeni orang yang suka basa-basi. Apalagi tidak memiliki kontribusi terhadap pilihan batiknya. Pikir Sofia, tidak ada gunanya juga merespon pertanyaan Fatih. Merespon, sama saja dengan membiarkan waktunya terbuang sia-sia.

Setelah kain berhasil dipilih, Sofia juga membeli bahan-bahan pendukung seperti kancing menyesuaikan dengan warna kain, kain lapis dalam batik, dan beberapa benang yang dibutuhkan. Setelah mendapatkan yang dicari, mereka lalu memasuki mobil. Sampai saat itu, Sofia masih betah untuk tidak membuka muutnya dengan suara-suara.

“Sudah berapa tahun mulai menjalani puasa suara?” Fatih mencoba meledek. Juga mengutarakan perasaannya yang sedari tadi dicuekin. Dari gurat wajahnya, sama sekali tidak terlihat bahwa ada salah dalam tindak tuturnya. Ia berekspresi biasa.

“Kamu harus punya sopan santun ya.” Sofia sedikit kesal karena dianggap puasa suara. Ini terlalu berlebihan. Sementara Fatih tak kunjung menyadari bahwa kata-katanya menyebabakan rasa jengkel.

Lihat selengkapnya