Gadis Pesantren

Fitria Sawardi
Chapter #17

Perjodohan

Orang tua Fatih mengajak orang tua Sofia ke tempat makan yang tidak begitu jauh dari pesantren. Sengaja tidak melibatkan Sofia dan Fatih agar perbincangan bisa lebih leluasa. Setelah pelayan mengantarkan minuman, abah Fatih membuka pembicaraan dengan menanyakan status Sofia, walaupun sebenarnya sudah tahu kalau Sofia masih belum punya tunangan, namun ingin lebih memastikan kalau Sofia tidak ada ikatan dengan lekaki manapun.

Setelah dipastikan oleh orang tua Sofia, abah Fatih menjelaskan maksud pembicaraan hari ini. Abah Fatih menceritakan tentang kehidupan Fatih. Sejak kecil Fatih sudah terlihat kecerdasannya. Dan sampai sekarang ia masih sama. Cerdas dalam segala hal. Fatih juga memiliki akhlak yang bagus. Sejak kecil mudah sekali menata karakternya. Ia tidak hanya pintar namun juga mempunyai akhlak yang baik. Dan saat ia meminta rida untuk mendaftar kuliah dengan beasiswa, orang tua, terutama umminya sangat rida serta mendoakan agar putranya bisa sukses dan bisa tembus beasiswa. Berkat rida dan doa orang tua, akhirnya Fatih diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan di negeri kincir angin.

Fatih orang yang supel dan sedikit humoris. Kalau diamati, ia tidak pernah menanggapi masalah dengan serius. Orangnya asyik. Namun tidak pernah melampaui batas perilaku antara anak dan orang tua. Ia masih memerhatikan sikap yang menunjukkan sikap sopan santun kepada orang tua. Dengan teman sebaya, ia mudah membaur. Saat menginjak remaja, tak jarang ia bergabung dengan teman-teman dari kalangan santri di pesantren. Walaupun ia keturunan kiai, tidak membatasi diri untuk bergaul. Siapapun ia jadikan teman. Hingga banyak kalangan santri di pesantren ini yang akrab dengannya. Orang tua yang mengetahui karakter Fatih demikian, tidak melarang untuk bergaul dengan siapapun. Tidak ada rasa khawatir dari orang tua. Karena, ia bisa tidak mudah terpengaruh perangai buruk orang lain. Justru memberikan pengaruh baik kepada orang lain. Kecakapannya dalam bersosial, sudah tidak diragukan lagi. Dan semakin ia membaur dengan teman, semakin terasah keterampilan sosialnya. Kecakapan ini akan dibutuhkan ketika ia terjun langsung ke masyarakat nantinya untuk kepentingan dakwah.

Setelah menceritakan kelebihan, abi Fatih menceritakan kelemahan putranya. Fatih tidak bisa larut dalam keadaan yang begitu serius. Ia tidak suka sesuatu yang kaku. Tapi bukan berarti ia tidak tegas dalam mengambil keputusan. Ia bertutur dan bertindak santai, namun tidak sampai lalai pada tujuan. Hal yang mendukung sikap santainya adalah ia tidak mau memakai baju panjang. Ia lebih fleksibel. Sering mengenakan kaos, yang itu tidak mencerminkan anak pesantren. Ada dua alasan yang membuatnya lebih nyaman memakai baju lengan pendek dan kaos. Pertama, karena merasa kepanasan. Kedua, karena tidak mau terlihat formal yang cenderung menunjukkan kesan serius. Orang tua Fatih menyadari kalau kebiasaan itu menjadi kesalahan orang tuanya yang sejak dulu tidak begitu memerhatikan kostum putranya sehingga sekarang tidak terbiasa memakai baju ala pesantren. Baju lengan panjang yang sopan dan rapi. Orang yang baru bertemu Fatih tidak akan bisa mengira bahwa ia adalah anak kiai. Yang mengkhawatirkan, kostum santainya itu dapat menurunkan wibawanya sebagai calon tokoh agama. Sehingga, jika tidak adanya aura kharismatik dalam dirinya, akan menyulitkannya untuk berdakwah. Dimana orang-orang akan mengabaikan pesan dakwah yang disampaikan. Ummi Fatih sebagai penyambung doa yang mustajab, senantiasa bermunajat agar kekhawatiran itu tidak sampai terjadi. Apabila Fatih tidak bisa mengubah penampilannya, setidaknya Allah memberikan kekuatan agar apa yang dikaji bersama masyarakat awam, kelak mudah diterima. Sebagaimana pepatah arab yang berbunyi; undzur maa qola walaa tandzur man qola. Yang kalau dibahasakan adalah 'lihatlah apa yang dikatakan bukan pada orang yang mengatakan'.

Orang tua Sofia mendengarkan dengan serius setiap rangkaian cerita yang disampaikan abi Fatih. Terlihat dari masing-masing bola matanya yang menyorot pada orang yang memberi cerita. Kemudian abi Fatih meminta dengan serius, jika Sofia memang benar-benar belum ada ikatan dengan lelaki lain, keluarga Fatih akan melamar untuk putranya, Fatih. Orang tua Fatih meyakinkan orang tua Sofia kalau putranya akan bertanggung jawab dalam menjalani kehidupan rumah tangga barunya. Orang tua Sofia yang ternyata masih belum menghilangkan misinya untuk menjodohkan putrinya, langsung menyetujui lamaran orang tua Fatih. Dan lagi-lagi, orang tua Sofia menerima perjodohan itu tanpa sepengetahuan putrinya.

Esok paginya, sebelum orang tua Sofia pulang ke Sumenep, mereka bertemu di ruang makan. Sofia duduk di antara kursi abah dan ummahnya. Sedangkan Fatih duduk di antara adik laki-lakinya. Di sampingnya lagi, ada ummi dan abinya. Dengan formasi makan dua keluarga, jadilah makan besar. Porsi sarapan yang disediakan pelayan pesntren juga lebih banyak. Mereka bisa menikmati makanan tanpa khawatir kekurangan jatah. Setelah acara sarapan pagi usai, abi Fatih memperbaiki posisi duduknya. Suasana yang mulanya sangat santai, dikendalikan agar menjadi serius. Semua yang duduk di meja diam membisu. Sementara alat pendengarnya siap menangkap suara yang akan muncul. Saat suasana itu dianggap sangat kondusif, Aabi Fatih mulai membuka suara. Ia menjelaskan panjang yang intinya adalah bahwa orang tua Sofia dan orang tua Fatih sudah melakukan kesepakatan untuk menjalin hubungan baik. Menjalin ikatan silaturahim dengan menjodohkan Fatih dan Sofia. Semua yang mendengar cerita itu tetap tenang, kecuali Sofia. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa cemasnya. Tangannya panas dingin. Namun, ia tidak sampai melakukan gerakan yang mencurigakan. Sekuat mungkin ia mengendalikan dirinya agar rasa syoknya tidak sampai mengganggu sekitar. Setelah pembahasan itu ditangkap dengan baik oleh pendengar, lantas ummi Fatih mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah. Dibukalah kotak itu. Di dalamnya memancar cahaya keemasan. Sebuah cincin. Semua mata tertuju pada benda itu, sampai tangan ummi Fatih bergerak sempurna melingkarkan pada jari manis Sofia. Cincin pertunangan itu menyumbang keindahan pada jari manis Sofia. Jarinya yang lentik membuat ummi Fatih_atau bu nyai, mudah memasukkan cincin itu. Sementara Sofia sama sekali tidak melihat cincin yang dilingkarkan ummi Fatih. Melihatnya justru akan membuatnya sedih. Sofia merasa jijik melihat cincin itu. Bukan soal bentuk cincinnya namun karena tanda pertunangan yang dilimpahkan pada cincin itu sehingga membuat Sofia tidak ingin melihatnya.

Semua yang ada di ruang makan masih fokus menyaksikan cincin yang melingkar elok di jari Sofia. Sementara Fatih fokus pada semburat sedih di wajah penerima cincin itu. Namun ia tidak begitu memahami perasaan perempuan itu. Fatih tidak tahu kalau hati Sofia tengah berkecamuk karena ulahnya. Bagaimana mungkin Fatih bisa paham kalau belum pernah bertanya pada Sofia tentang perasaannya. Fatih setidaknya memberi tahu terlebih dahulu pada Sofia sebelum lamaran itu terjadi. Fatih seharusnya bilang secara langsung kalau ingin menikahi Sofia sehingga ada pertimbangan-pertimbangan. Fatih main belakang, pura-pura tidak tahu kalau perjodohan ini atas permintaannya. Andaikan Sofia tahu kalau perjodohan itu terjadi karena permintaan Fatih, bisa dipastikan Fatih akan menjadi musuh terbesar Sofia.

Ummi Fatih sudah lama menyiapkan cincin tunangan itu, bahkan sebelum Fatih bilang kalau ia menginginkan Sofia. Cincin itu dibeli di Arab Saudi saat orang tua Fatih menunaikan ibadah umroh. Cincin itu sengaja dibeli karena ummi Fatih menyukainya. Dan cincin yang disukainya itu akan diberikan pada orang yang tersayang, calon isteri puteranya. Dan orang yang beruntung itu adalah Sofia.

Sebelum benar-benar menutup pembahasan yang cukup serius itu, orang tua Fatih juga menjelaskan. Jika Sofia masih ingin melanjutkan studinya, pihak keluarga laki-laki tidak merasa keberatan. Setelah menikah, nanti Sofia bisa kuliah di bawah tanggung jawab Fatih. Tentunya Fatih tidak akan melarang Sofia. Bagi Fatih sudah sangat melek ilmu pengetahuan umum, tidak memiliki alasan untuk mengekang isterinya nanti. Fatih bukan orang awam yang memiliki keyakinan bahwa perempuan harus di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan tidak berkesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Bukan. Itu sama sekali bukan tipe Fatih. Dan dengan prinsip yang dimikili Fatih ini menjadikan Sofia tidak berkutik. Karena ia masih memiliki kebebasan untuk fokus belajar. PRnya saat ini adalah bagaimana bisa mencintai seseorang yang baru saja ia kenal.

Sofia menunduk diam sejak kalimat perjodohan itu terucap dari mulut abi Fatih. Sofia sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi sampai berontak, karena orang tuanya sudah mengiyakan perjodohan itu. Sofia sudah pasrah karena Billy juga sudah tidak memberikan sinyal peduli padanya. Merasa tidak ada harapan lagi, Sofia membiarkan perjodohan ini mengalir dibawa arus. Walau mengorbankan perasaannya. Demi kehormatan orang tuanya. Kehormatan persaudaraan, kehormatan keluarga pesantren dan kehormatan lainnya. Dengan sangat terpaksa, akhirnya ia mengajak damai pada keadaan agar mau menerima perjodohan. Walaupun ia sama sekali tidak jatuh cinta pada lelaki yang menyebalkan itu.

Sofia tidak peduli bagaimana jadinya kehidupan rumah tangga yang akan dijalaninya. Hatinya berkcamuk hebat. Ia tidak bisa berpikir dengan baik. Perasaannya hancur, seperti ingin berteriak sekencang-kencangnya di depan keluarga ini, namun beberapa kali ia menahan diri untuk tidak melakukan hal itu. 

Lihat selengkapnya