Setelah melakukan pertimbangan, abah Sofia menelepon keluarga Fatih untuk memutuskan tanggal pernikahan. Tidak menunggu lama, minggu depan adalah minggu yang baik untuk Fatih dan Sofia, sehingga mereka akan melangsungkan akad. Selain itu, keluarga pesantren juga telah menghitung angka tanggal lahir Sofia dan Fatih sehingga diputuskan untuk akad pada hari senin.
Mata Sofia sembab mendengar kabar yang didengarnya langsung. Secara tidak sengaja. Saat abahnya berbicara dengan abah Fatih melalui telepon. Hatinya hancur. Ia seolah-olah tidak bisa memilih kebahagiaan untuk masa depannya sendiri. Sofia harus menjalani masa-masa sulit sepanjang hidupnya. Seumuran ia, seharusnya bersenang-senang dengan teman-teman kuliah. Mengerjakan tugas dari dosen yang menantang. Nongkrong bersama di kafe sembari berdiskusi hangat. Dan masih banyak hal menyenangkan yang bisa dilakukan dengan teman kuliah.
Fatih.. Fatih.. Fatih..,,,,
Sofia berusaha menuliskan nama Fatih lebih dari seratus kali di sebuah buku catatatan pribadinya. Sembari menuliskan nama-nama itu, Sofia menyebutkan nama Fatih sebanyak yang ditulis. Hal ini dilakukan agar ia bisa menyematkan nama itu dalam pikirannya, lalu turun ke hatinya. Ia berharap setelah nama itu benar-benar tersemat, membaur bersama tubuhnya akan lebih mudah untuk menerima kehadirannya. Sofia mengalirkan air matanya di tengah-tengah menyebutkan nama lelaki itu. Sofia berusaha agar hatinya mau menerima Fatih yang telah digariskan untuknya. Tangannya yang lelah menulis dan bibirnya yang basah menyebut nama yang sama dengan ratusan kata, tak ia hiraukan. Saat ini yang terpenting adalah bagaimana dirinya bisa menghilangkan rasa jijik pada lelaki yang ditakdirkan untuk menjadi suaminya. Setelah penuh dengan tulisan 'fatih', ia memutuskan untuk menutup buku catatan itu. Kemudian menarik napas sedalam-dalamnya, lalu menghembuskan dengan perlahan. Ada rasa lega menyertai napasnya. Walaupun ia masih belum merasakan dampak tersematnya sosok Fatih dalam dirinya.
***
Keluarga Fatih sudah sampai di rumah Sofia. Mobil terparkir di halaman pesantren. Para santri menundukkan kepala sembari membungkukkan badannya, sebagai bentuk sikap takzim pada keluarga pesantren. Saat keluarga Fatih memasuki lorong ndalem Sofia, para santri sudah berbaris dengan rapi, berada di sisi kanan dan kiri. Menyambut keluarga Fatih dengan lagu thola’al badru ‘alaina yang dilantunkan oleh beberapa vokalis dari grup banjari pesantren. Suaranya mengalun merdu, membuat yang disambut terharu.
Di ruang tamu sudah tersedia berbagai jenis kue, aneka buah, jajanan tradisional, juga dilengkapi dengan jus buah dan air mineral. Di situ juga ada tisu yang sudah dihias menjadi bunga. Bentuknya sangat indah. Membuat senang bagi setiap mata yang memandang. Sofia dengan dandanannya yang cantik, masih enggan mendongakkan kepala. Ia lebih memilih untuk menunduk. Sofia hari ini terlihat sangat cantik. Rupanya perias wajah sangat mahir memoles wajah Sofia dengan alat-alat make upnya. Atau mungkin karena memang sudah dasarnya Sofia cantik. Bentuk hidungnya yang mancung, sorot matanya yang tajam, dan bibirnya yang tipis tidak bisa ditipu dengan make up manapun.
Fatih semakin terpana melihat kecantikan wajah Sofia, namun kali ini ia tidak bisa banyak berbicara apalagi menggoda Sofia yang sering menimbulkan kejengkelan. Tidak sanggup bagi Fatih untuk berkata-kata apapun karena rasa gugup berhasil mengelabui perasaannya. Ia khawatir salah kata dalam mengucapkan kalimat akad, walaupun sebenarnya ia sudah menghafalkan dengan betul kalimat itu. Namun hafalnya kalimat akad tidak menjadi jaminan Fatih lancar dalam mengucapkan akad nantinya. Bisa jadi rasa gugup itu menggangu pikirannya jika ia tidak mengendalikan emosinya dengan baik.
Keluarga pesantren duduk lesehan di karpet yang sangat lembut made in Saudi Arabia. Sofa yang ada di ruang tamu dipindah ke ruang yang lain, karena menganggap lesehan lebih nyaman. Salah satu tokoh agama, memandu acara akad nikah. Fatih dipersilakan maju ke depan untuk melaksanakan akad bersama penghulu. Sedangkan Sofia duduk di belakang bersama ummahnya. Dengan disaksikan semua yang ada di ruang tamu, dan abah Sofia sudah siap menjadi wali nikah, lantas penghulu mengawali kalimatnya. Kemudian disusul oleh Fatih. Setelah momen tegang itu terlewat, Fatih menghirup napas lega seraya berkata 'Alhamdulillah'. Akhirnya ia bisa mengucapkan kalimat akad dengan lancar, tidak terbata-bata. Akhirnya ia bisa mengendalikan emosi. Memasang mental baja. Belum pernah ia setegang ini. Menurutnya, sidang skripsi tidak ada apa-apanya dibandingkan persidangan akad ini. Setelah kalimat ‘sah’ sudah diucapkan, Romo kiai Syamsuddin, salah satu tokoh agama mengucapkan doa yang kemudian diamini oleh para hadirin. Sofia kali ini tidak bisa membendung air matanya. Membiarkannya mengalir deras, membasahi pipinya. Ummah Sofia menganggap tangisan itu sebagai bentuk tangisan haru. Namun sebenarnya Sofia menangis karena sadar, ia tidak akan sanggup menjalani hidup berumah tangga dengan orang yang tidak dicintai. Sejenak terlintas sosok Billy dalam bayangan samarnya. Dalam hati kecilnya, ia masih beharap pada Billy. Lelaki yang disukainya yang disemogakan akan hidup bersama setelah selesai kuliah. Namun, buru-buru ia mengusir bayangan itu. Ia sudah berkomitmen untuk melupakan Billy. Lelaki pecundang. Lelaki yang kini asyik dengan perempuan lain. Sekali lagi, Sofia membuang jauh-jauh pikiran tentang Billy, yang sempat melayang di kepalanya. Ia kembali fokus pada keadaan yang ada di depan mata. Bahwa ia sudah dimiliki lelaki yang dengan berani melantunkan kalimat akad.
Pernikahan ini merampas kebahagiaan Sofia. Seharusnya ia bebas bergerak. Mendapatkan kebahagiaan bersama teman-teman kuliah. Masih dengan rasa gundahnya, ia kembali menunduk. Atas permintaan penghulu, Fatih mencium kening Sofia dengan lembut. Memberikan kehangatan pada Sofia, namun ciuman itu tidak cukup membuat perasaannya tenang. Akad sudah selesai. Dilanjutkan dengan makan bersama dan salat berjamaah di masjid pesantren. Orang tua Fatih pamit pulang ke Pati dengan terburu-buru untuk menyiapkan acara resepsi pernikahan. Kali ini, ummi Fatih merayu keluarga Sofia untuk melaksanakan resepsi di kediaman keluarga Fatih di Pati. Karena sejak pernikahan anak yang pertama, dilaksanakan di rumah mempelai wanita. Keinginan itu, dikabulkan oleh keluarga Sofia. Resepsi pernikahan dilaksanakan di rumah Fatih.
Orang tua Fatih meninggalkan putranya di rumah Sofia. Membiarkan keduanya saling mengenal lebih jauh dan memang seharusnya mereka diberi kesempatan untuk berkomunikasi. Sekarang sudah menjadi pasangan yang sah. Dimana urusan mesra tidak lagi menjadi perkara haram melainkan halal. Bahkan berbuah pahala.
Menjelang salat magrib, Fatih mengajak Sofia untuk untuk pergi ke Masjid pesantren. Namun Sofia menolak karena ia berhalangan syar’i sebagaimana wanita biasanya (haid). Akhirnya Fatih berangkat sendirian. Tiba di masjid, Fatih melaksanakan salat tahiyyatul masjid, sementara santri yang sudah dari tadi di masjid melakukan iktikaf sambil membaca selawat yang dipandu oleh salah satu santri yang menggunakan pengeras suara. Santri putra salat di lantai satu, sedangkan santri putri salat di lantai dua mengingat tempatnya tidak muat apabila salat di lantai yang sama. Walaupun masjid ini besar, santrinya juga banyak, sehingga daya tampungnya terbatas.
Kali ini, Fatih diminta untuk menjadi imam salat oleh abah Sofia. Para santri yang belum mengenal sosok Fatih, tetap menghormati sebagaimana keluarga pesantre. Walaupun belum tahu pasti kalau Fatih berasal dari keturunan pesantren. Usai salat dan zikir, abah Sofia_yang kebetulan berada di Shof depan persis di belakang Fatih, mengambil alih pengeras suara, abah Sofia memulai dengan salam dan menjelaskan kalau Fatih sudah resmi menjadi bagian dari keluarga pesantren, suami dari Neng Sofia.
Para santri putra mengangguk-angguk tanda mengiyakan, sekaligus ikut senang dengan bertambahnya anggota baru di keluarga pesantren. Sedangkan di lantai dua terdengar suara gaduh dari santri putri. Mereka saling berebut tempat agar bisa melihat menantu kiai pesantren. Melalui lubang-lubang kecil atau sela-sela tiang kecil lantai dua. Mereka berusaha dengan penuh semangat agar bisa menyentuh tiang kecil sehingga bisa melihat sosok suami Neng Sofia. Walaupun pada akhirnya tidak semua santri putri mendapat kesempatan untuk melihat ke lantai bawah. Karena celah-celah tiang itu sudah ditutupi punggung santri yang lebih dulu menuju tiang. Lubang sela-sela tiang terbatas, sehingga santri yang tidak bisa melihat ke lantai bawah dihantui rasa penasaran.
“Wah … Tampan juga ya menantu kiai!” Salah satu santri putri yang bisa menjamah lubang kecil, berbisik dengan teman sebelahnya.