Setelah pulang dari Lombok, Fatih memohon pada kedua orang tuanya untuk tinggal di rumah yang berbeda, dengan alasan melatih kemandirian. Umminya yang mendengar keinginan Fatih, sempat merasa keberatan. Ini bukan lagi karena mementingkan perasaaanya yang takut ditinggal anak tersayang. Tapi karena khawatir Fatih tidak bisa menghidupi keluarganya dengan baik, apalagi dengan kondisi Fatih yang saat ini masih belum mempunyai pekerjan tetap. Namun Fatih berhasil meyakinkan umminya, bahwa ia pasti bisa membina rumah tangga dengan baik, yakin karena rejeki sudah ada yang mengatur.
Abi Fatih sangat setuju dengan dengan keputusan yang dipilih putranya. Beliau yakin kalau putranya akan baik-baik saja tanpa bergantung pada orang tua. Keputusan yang dipilih adalah untuk melatih mental dalam membina keluarga. Abah Fatih paham betul dengan karakter putranya, yakin Fatih bisa mandiri dan bertanggung jawab atas keberlangsungan rumah tangganya. Fatih memilih Yogjakarta sebagai tujuan yang dipilih sebagai hunian baru. Mengingat istrinya ingin kuliah, di sana banyak pilihan kampus. Dan istrinya lebih leluasa memilih kampus yang diinginkan.
“Abah sudah punya firasat, kamu pasti akan memutuskan untuk hidup mandiri.” Abah Fatih sudah bisa menebak dari jauh hari sebelum Fatih mengatakan pada orang tuanya, bahwa ia akan meminta untuk pindah rumah.
“Terima kasih, Abah.” Fatih semakin mantap.
Rencana awalnya, Fatih ingin mengontrak sebuah rumah. Uang yang dimilikinya sekarang mungkin cukup untuk membayar DP rumah. Namun, ia tidak gegabah langsung membeli rumah. Uang yang selama ini ia simpan akan dialokasikan untuk rencana bisnisnya demi keberlangsungan hidup. Kali ini, orang tua Fatih tidak setuju dengan keputusan putranya untuk mengontrak. Orang tuanya meminta izin untuk ikut campur dalam hal ini. Orang tua Fatih tidak membiarkan putranya mengontrak, mereka sudah membelikan rumah untuk Fatih di Yogyakarta. Rumah itu awalnya milik salah satu santri yang pernah belajar di pesantren. Santri yang bernama Faiz Maulana, kini menjadi pebisnis sukses. Ia menjadi developer perumahan. Rumahnya banyak. Ada juga yang di luar kota. Beberapa kali abi Fatih ke Yogyakarta tidak pernah menginap di hotel, namun menginap di rumah santrinya itu.
Awalnya Faiz tidak mau menerima uang untuk pembayaran rumah yang akan dihuni Fatih bersama istrinya. Faiz masih mengakui sebagai santri_walaupun sudah lulus dari pesantren, berniat untuk mengabdi dengan mewakafkan salah satu rumahnya pada kiai. Namun sang kiai tidak ingin menyusahkan santrinya apalagi sampai membuat bisnisnya rugi. Faiz tetap meyakinkan bahwa dengan diberikannya satu unit rumah, tidak membuatnya rugi karena sudah banyak laba yang didapatkan dari hasil penjualan beberapa unit rumah. Setelah melakukan perbincangan panjang, Faiz meminta pada kiai untuk membayar rumah separuh harga. Dan Faiz berharap kiai dapat menerimanya, agar ia punya kesempatan untuk mengabdi pada gurunya/ Juga demi membersihkan harta yang telah dimilikinya agar kehidupannya semakin berkah.
Atas izin orang tua dan mertuanya, akhirnya Fatih pindah rumah ke Yogyakarta. Ummi Fatih tak bisa menahan air mata saat Fatih melangkah untuk pergi dari rumahnya. Naluri seorang ibu untuk bisa selalu dekat dengan anak tak bisa dibendung. Namun, sebisa mungkin ummi Fatih bersikap tegar. Ia harus yakin jika Fatih akan baik-baik saja di tempat yang baru. Ia juga harus menerima kenyataan bahwa jauh dari putra yang sudah berkeluarga adalah keniscayaan. Melepas putranya dengan keikhlasan akan membuat hatinya lebih tenang. Ia juga masih punya banyak kesempatan untuk berjumpa. Jika suatu saat merindukan putranya, bisa berkunjung. Lagian Pati tidak begitu jauh dengan Yogyakarta yang sama-sama terletak di Jawa Tengah, tidak sejauh Jakarta. Setelah ummi Fatih merasa lega, ia mengambil sesuatu. Ia bermaksud untuk memberikan tabungannya, sebagai bekal untuk putra dan menantunya dalam memenuhi kebutuhan di rumah barunya. Namun, Fatih menolak dengan tegas dan sopan, serta meyakinkan umminya bahwa ia pasti akan mendapatkan rezeki yang banyak serta halal.
***
Sampai di rumah yang baru. Faiz selaku santri kiai, tetap takzim pada Fatih, sebagaimana takzimnya murid pada gurunya. Tangan Faiz meraih tangan kanan Fatih, kemudian diciumlah tangan itu sebagai tanda penghormatan, walaupun kenyataannya Faiz sedikit lebih tua usianya dari pada Fatih. Sikap takzimnya begitu tinggi. Kepada Fatih, Faiz memberikan banyak pejelasan tentang kehidupan di Yogyakarta. Tentang biaya hidup, akomodasi, transportasi, kuliner, kebudayaan. Bahkan sampai pada penjelasan peluang bisnis. Penjelasan itu mungkin akan menjadi gambaran yang dibutuhkan Fatih agar lebih mudah beradaptasi di lingkungan yang baru. Sebagai orang yang lebih dahulu tinggal di Yogjakarta, Faiz sangat lues dan detail dalam memberikan penjelasan. Setelah dinggap cukup dengan perbincangan itu, Faiz pamit undur diri. Sebelum benar-benar meninggalkan orang terhormat itu, Faiz berpesan pada Fatih agar bisa menghubunginya apabila sewaktu-waktu dibutuhkan. Dengan senang hati, Faiz akan meluangkan waktu untuk berkunjung. Dan selalu siap untuk membantu Fatih. Ucapan terima kasih beberapa kali dilayangkan Fatih sampai pertemuan seornag santri dan gus itu berakhir dengan ucapan salam.
“Sayang, ayo kita makan!” Fatih menyajikan makanan ke atas meja ruang makan. Ia memasak sendiri. Orang tuanya sempat menawarkan agar salah satu pelayan pesantren ikut ke rumah barunya untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, namun Fatih lagi-lagi menolak. Ia benar-benar ingin hidup mandiri bersama istri.
“Duluan saja! Aku menyusul.” Fatih menyantap makanan sendiri karena Sofia masih sibuk dengan aktivitas membacanya. Sofia sengaja tidak segera makan, karena malas makan bersama Fatih. Sofia lebih nyaman makan sendirian.
Dalam hati kecilnya, Sofia sadar bahwa seharusnya ia tidak bersikap demikian. Sebagai istri, seharusnya melayani suami dengan baik. Memasak, menghidangkan makanan di meja makan, lalu makan bersama dengan senyuman manis. Dengan demikian, suami akan senang. Jika ia senang, maka akan mudah mendapatkan rida. Namun sekali lagi, kesadaran itu tertindih oleh rasa benci. Rasa benci akan perjodohan yang senantiasa digaungkan oleh orang tuanya. Perjodohan yang datang bertubi-tubi. Dan respek pada sebuah pernikahan itu semakin hilang darinya sejak pengakuan Fatih. Bahwa pernikahan ini bukan murni dari perjodohan orang tuanya, namun ada ikut andil Fatih. Kalau saja Fatih tidak mengatakan pada orang tuanya, mungkin pernikahan ini tidak terjadi. Fatih yang merusak semuanya. Fatih telah merenggut kebebasan yang seharusnya dinikmati Sofia. Rasa benci pada Fatih, menghilangkan sikap takzim yang seharusnya dimiliki Sofia.
Saat Magrib tiba, Fatih sudah lengkap dengan baju salatnya. Mengganti kaos lengan pendek menjadi baju lengan panjang dan berkerah, juga dilengkapi dengan kopyah di kepalanya. Itu menjadi kebiasaan Fatih, tidak pernah bisa mengenakan baju lengan panjang kecuali hendak salat. Sofia yang sudah suci dari uzur syar’inya mengikuti Fatih untuk salat berjamaah. Ia sangat meyakini adanya keistimewaan salat berjamaah. Karena orang tuanya sudah menanamkan sejak kecil tentang keutamaan salat berjamaah. Juga tidak bisa menolak untuk salat dengan Fatih karena saat ini, satu-satunya orang yang berada di ruang ini adalah Fatih. Usai wirid salat Magrib, Fatih dan Sofia tidak segera bergegas dari tempat salat. Mereka membaca surat-surat pilihan dari Al Quran kemudian dilanjutkan dengan istighosah sambil menunggu azan Isya. Mereka mempunyai kebiasaan yang sama. Sama-sama memanfaatkan waktu di antara Magrib dan Isya dengan melakukan kegiatan ibadah. Kebiasaan itu memang kerap dimiliki orang-orang yang telah mengenyam pendidikan di pesantren. Dimana waktu antara Maghrib dan Isya menjadi hal yang disayangkan, apabila digunakan untuk sesuatu yang sia-sia. Waktu di antara dua salat ini merupakan waktu yang produktif untuk beribadah, setelah siang hari disibukkan dengan urusan dunia.