Sebagaimana yang telah dijanjikan, Sofia diberi kesempatan untuk melanjutkan studinya. Kuliah di jurusan yang diminati. Fatih memberi kebebasan pada Sofia untuk memilih kampus yang diinginkan, asalkan masih satu kota dengan tempat yang ditinggali sekarang.
Sofia akhirnya memilih sebuah kampus di Yogyakarta dengan mengambil jurusan seni budaya. Sebenarnya ia ingin mengambil jurusan musik, namun ia sama sekali tidak mempunyai dasar ilmu dalam bidang itu_walaupun sejak kecil ia sangat menginginkannya. Sebenarnya Sofia lebih cocok mengambil jurusan ilmu eksak, karena ia mempunyai background yang kuat di bidang ilmu tersebut, namun ia sama sekali tidak tertarik mengambil jurusan eksak. Ia justru memilih jurusan seni budaya, entah apa yang menjadi pertimbangannya.
Sofia tidak bisa masuk kuliah dengan jalur SNMPTN atau sejenisnya, mengingat jadwal seleksi tersebut sudah ditutup. Padahal Sofia bisa saja masuk jalur tanpa tes, karena di SMA ia selalu masuk tiga besar. Akhirnya Sofia memilih jalur terakhir, yaitu jalur mandiri, satu-satunya jalur yang masih belum ditutup.
Sofia mondar-mandir ke kampus untuk melengkapi persyaratan administrasi, Fatih tentu menyertai Sofia kemanapun pergi, karena istrinya tidak begitu hafal medan di Yogyakarta. Rangkaian tes sudah diikuti. Beberapa hari kemudian muncul pengumuman. Sofia dinyataan lulus dan diterima di kampus yang dituju. Sofia kemudian diminta untuk membayar biaya daftar ulang.
“Bayar pakai uang tabungan kemarin ya, jika kurang nanti saya carikan!” Fatih yang mengetahui uang tabungan dari hasil rental tidak cukup untuk membayar daftar ulang kuliah, ia mencoba untuk menghibur Sofia agar tidak patah semangat. Fatih meyakinkan Sofia, kalau ia pasti bisa membayarnya.
“Tidak.” Tabungan hasil rental itu, disimpan saja.
“Kenapa begitu, Sayang?” Fatih kaget mendengar jawaban Sofia, mungkinkah ia sudah putus asa untuk kuliah karena persoalan biaya.
Fatih merasa bersalah, gara-gara ia tidak bisa membayar biaya daftar ulang secara penuh, membuat hati istrinya terluka. Fatih sungguh merasa gagal jika sampai Sofia tidak kuliah. Karena, ia sudah berjanji agar Sofia tetap melanjutkan studinya.
“Aku ada uang. Insyaallah cukup untuk bayar kuliah..” Sofia mengeluarkan tas berwarna hitam, di dalam tas itu isinya adalah sejumlah uang yang tersusun rapi.
“Dari mana kamu dapatkan uang itu?” Fatih bukannya tidak percaya pada Sofia perihal uang itu, namun ia hanya penasaran dari mana datangnya uang itu.
Lantas, Sofia menjelaskan. Sebelum menikah, orang tuanya berjanji untuk membiayai kuliah. Perjodohannya dengan Fatih bukan menjadi alasan tidak membiayai kuliah. Abah Sofia meminta pada putrinya untuk menerima uang itu, walaupun nantinya suami Sofia akan membiayai kuliah. Setidaknya, uang itu sebagai bentuk dari janji yang harus ditepati.
“Alhamdulillah.” Fatih mengelus dada dengan lembut, merasa tenang dengan penjelasan istrinya.
Setelah dihitung, uang itu lebih dari cukup untuk membayar kuliah. Masih banyak uang sisa yang terikat rapi di tas berwarna hitam itu. Fatih mengusulkan pada Sofia untuk membeli sepeda motor, daripada naik angkot setiap hari. Pertimbangannya, kalau naik angkot ke kampus, Sofia harus berjalan beberapa meter dari depan rumahnya untuk menjangkau angkot. Karena rumah yang ditempati bukan salah satu rute utama yang dilewati angkot. Selain itu, kalau naik angkot, jarak yang ditempuh ke kampus lebih lama. Angkot harus melewati beberapa rute yang pasti membuat perjalanan lebih lama. Sedangkan kalau naik sepeda motor, Fatih bisa mengantar dan menjemput istrinya ke kampus. Melewati jalan pintas sehingga tidak lelah di perjalanan, juga lebih cepat sampai sehingga bisa menghemat waktu.
Dengan pertimbangan itu, Sofia menyetujui usulan Fatih untuk membeli sepeda motor. Di samping itu, tidak dapat dipungkiri kalau mereka juga membutuhkan kendaraan untuk pergi kemana-mana, ke pasar misalnya.
Usai daftar ulang melalui bank, Fatih bersama Sofia langsung ke daeler motor untuk membeli sepeda motor baru. Sempat berpikir untuk membeli sepeda bekas. Namun setelah dipikir kembali, sepeda bekas biasanya sering rewel sehingga membutuhkan perawatan yang ekstra. Sedangkan sepeda baru, tidak akan sesulit sepeda bekas dalam urusan perawatan.
Andaikan ummah Sofia mengetahui langsung kehidupan anaknya yang sangat sederhana, tidak sebaik hidup di pesantren, dipastikan ummahnya tidak akan tega melihat anaknya seperti ini. Andai orang tua tahu kalau Sofia dan suaminya membutuhkan kendaraan, pastilah mereka membelikan mobil, bukan sepeda motor. Namun sebenarnya, beginilah jika ingin mandiri. Harus tega melihat anaknya hidup sederhana dengan perjuangan yang luar biasa dalam menyambung hidup. Orang tua harus rela melepas anaknya agar mempunyai mental yang kuat sehingga menjadi anak yang tangguh, yang tidak pernah putus asa. Nantinya akan punya manajemen yang baik dalam mengurus kebutuhan rumah tangga.
Sebelum benar-benar masuk kuliah, Sofia mengikuti orientasi mahasiswa (OSPEK) selama satu minggu lamanya. Sofia dan teman-teman mahasiswa baru diberi tugas selama masa orientasi. Dengan adanya tugas itu diharapkan dapat melatih kedisiplinan, belajar bersosial, mencintai ke-bhineka-an dan masih banyak pengalaman berharga yang akan didapatkan.
Hari pertama masuk kuliah, dosen tidak langsung masuk pada materi pelajaran. Melainkan meminta pada semua mahasiswa untuk berkenalan satu per satu; menyebutkan nama, alamat asal dan tempat tinggal sekarang. Setelah selesai berkenalan, dosen memberi gambaran umum mengenai materi yang akan dipelajari selama satu semester.
“Eh, kamu Madura mana?” Salah satu teman kelas Sofia penasaran, menindaklanjuti perkenalan yang sempat terputus tadi.