Gadis Pesantren

Fitria Sawardi
Chapter #23

Pekerjaan Rumah

Pernikahan yang tidak sepertinya biasanya. Pasalnya setelah beberapa bulan ini Sofia tidak pernah mau tidur satu ranjang dengan suaminya. Ia merasa geli tidur dengan jarak yang begitu dekat. Sofia tidak pernah punya keinginan untuk tidur bersama suaminya. Tidak pernah merasa sedikit pun iba, membiarkan suaminya tidur di Sofa seorang diri. Dengan selimut seadanya, yang tidak benar-benar memberikan kehangatan pada tubuhnya.

Andaikan orang tua keduanya tahu kalau Sofia memperlakukan demikian. Sudah bisa dipastikan mereka akan geram menyaksikan sikap Sofia pada suaminya. Melihat dari sudut pandang orang tua, Fatih adalah korban ketidak-adilan dari perbuatan istrinya. Tidak pernah melaporkan kejelekan istrinya. Fatih bukanlah anak kecil yang mudah mengadu pada orang tuanya untuk minta pembelaan. Ia sudah cukup dewasa dalam menyikapi kehidupan rumah tangganya. Sementara dari sudut pandang Sofia, ia adalah korban dari pernikahan ini. Atas kenekatan Fatih dan persetujuan kedua orang tua, Sofia tidak bisa memilih kehidupan yang bebas.

Sofia tidak pernah melayani suaminya dengan baik. Itu karena tidak ada rasa cinta yang membuatnya demikian. Sofia tidak ingin ketika ia melayani suaminya, justru akan menimbulkan rasa peduli. Ia tidak berminat untuk memanggil rasa cinta dalam hatinya untuk Fatih. Ia tidak lagi menulis dan melafalkan nama Fatih untuk memunculkan rasa cinta. Sejak tahu bahwa Fatih bukan korban perjodohan. Sofia yang merupakan korban perjodohan. Fatih yang menginginkan pernikahan ini hingga orang tuanya mengamini. Dalam standar pernikahan, Sofia termasuk kategori istri yang kurang layak. Mana ada istri yang membiarkan suaminya tidur sendirian. Tidak memberikan pelayanan secara zahir dan batin.

Ketika benci sudah mengelabuhi pikiran, tidak hanya logika yang terpenjara. Cinta pun tidak akan berhasil masuk di dalamnya. Ketika rasa kecewa berhasil mengelabuhi pikiran Sofia, di situlah benci bersemayam. Dan ketika benci sudah betah, rasa cinta sulit masuk ke dalam diri Sofia. Itulah yang menjadi alasan sampai saat ini ia masih belum hatuh cinta pada Fatih. Coba dibayangkan, Fatih adalah lelaki yang sangat tampan, tanggung jawab, pintar, sabar, religus, dan masih banyak kelebihan yang dimilikinya. Apakah Sofia tidak pernah berpikir. Mencoba membandingkan dengan lelaki lain. Misalnya dengan lelaki yang pernah dicintai, yaitu Billy. Fatih dan Billy jauh berbeda, Fatih adalah lelaki yang ideal dibandingkan Billy yang hanya mempunyai skil menyanyi itu. Secara logika, cinta akan berpihak pada Fatih. Tapi sekali lagi, logika tidak memiliki peran dalam urusan ini. Kalau Sofia berani membandingkan lelaki di luar sana dengan suaminya, tentu yang lebih sempurna adalah suaminya. Sofia hanya tidak mau sadar kalau suaminya adalah lelaki idaman. Buktinya, teman kampusnya mengidolakan suaminya saat pertama kali bertemu. Itu masih melihat fisiknya saja, belum tahu ketampanan hatinya.

Entah apa yang akan membuat Sofia sadar. Apa perlu suaminya diselingkuhin wanita lain di luar sana agar ia sadar. Rasa kehilangan mungkin menjadi hal yang membuatnya mengerti, bahwa sesuatu yang dimilikinya sangat berharga. Namun tidak mungkin rasanya Fatih bermain belakang dari istrinya. Itu sama sekali bukan pribadi Fatih yang sesungguhnya.

“Ayo makan, Sayang!” Tidak ada hentinya Fatih memanggil Sofia dengan panggilan sayang. Walaupun Sofia sering marah, ia tak pernah menghiraukan istrinya. Hingga Sofia lelah sendiri dan membiarkan panggilan itu melayang bebas di telinganya. Fatih setiap harinya menyajikan makanan yang bervariasi. Ia telah membeli banyak buku resep makanan. Mempelajarinya dengan baik, mulai dari komposisi, bahan-bahan yang dibutuhkan, cara memasak dan penyajiannya. Dengan usahanya ini, Fatih berharap istrinya tetap menyukai makanan yang disajikan, sehingga tidak ada keluhan bosan dengan makanan di rumah.

Fatih mengkhawatirkan Sofia. akan terpengaruh pada temannya untuk makan di luar. Kalau hanya untuk satu atau dua kali masih bisa dimaklumi. Alasan Fatih tidak ingin jika Sofia nantinya selalu minta makan di luar, selain tidak dapat dipastikan kesehatannya, juga bisa menguras kantong. Karena selisih makan di luar dengan masak sendiri itu sangat jauh.

“Kamu makan duluan saja!” Sofia masik tertunduk, fokus pada laptop di depannya. Jarinya asyik mengetik.

Lihat selengkapnya