PERTEMUAN itu terjadi di perpustakaan kampus. Seorang mahasiswa bercambang tipis harus merelakan buku yang sedang ia cari dipinjam oleh mahasiswi berambut panjang sepinggang.
Sebelumnya, mereka tampak bingung mencari-cari buku. Mereka mondar-mandir berkali-kali, dari komputer penelusuran buku ke rak-rak buku, lalu kembali ke komputer, lalu kembali lagi ke rak-rak buku. Begitu seterusnya hingga lebih dari tiga kali mereka tetap tidak menyerah. Di komputer penelusuran, tampak bahwa buku yang mereka cari ada satu eksemplar. Mereka sama-sama tidak menyadari bahwa buku yang mereka cari dan akan mereka pinjam adalah sama, judulnya Olenka, karya Budi Darma.
Petugas perpustakaan yang sedang sibuk mengurusi peminjam-peminjam buku yang antre tak menyadari bahwa ada dua mahasiswa yang tampak kebingungan berjalan mondar-mandir di depan mereka. Kedua mahasiswa tadi kebingungan sebab buku yang sedang mereka cari tidak ada pada tempatnya. Mereka berdua sama-sama berpikir kemungkinan-kemungkinan buku yang mereka cari tidak ada pada tempatnya. Kemungkinannya, buku tersebut diambil seseorang yang bukan petugas perpustakaan yang mengerti di mana harus meletakkan buku, lalu diletakkan di sembarang tempat. Mereka tampak menelusuri call number buku-buku di sekitar tempat buku itu seharusnya berada. Bisa saja buku itu ada di atas atau di bawah tempat seharusnya, atau bahkan di rak sebelahnya. Kemungkinan yang lain adalah buku tersebut baru saja dikembalikan dan petugas belum mengembalikan ke rak buku.
Maka, mereka pun sama-sama menuju ke meja petugas dan antre beberapa saat. Ada dua petugas yang bertugas, panjang antrean masing-masing petugas sama. Mereka berdua antre di tempat yang terpisah. Pada saat yang sama, keduanya punya giliran untuk bertanya.
“Bu, buku Olenka di komputer penelusuran ada, tetapi di rak kok nggak ada, ya?” kata yang perempuan.
“Pak, aku nyari-nyari Olenka kok nggak ada, ya?” kata yang laki-laki.
Seperti sikap mahasiswa kebanyakan lainnya yang cuek dan terkesan apatis, mereka berdua bahkan masih belum menyadari bahwa buku yang mereka cari sama.
“Bentar tak carikan dulu, ya,” kata petugas perempuan.
“Bu, tadi kayaknya ada yang mengembalikan Olenka, belum dikembalikan di rak, kan?” kata petugas yang laki-laki.
Kedua petugas itu sama-sama berdiri menuju tumpukan buku di meja sebelah.
“Olenka?”
“Iya.”
“Lho, kamu juga nyari Olenka?”
“Iya, katanya dia sudah nyari di rak-rak tapi nggak ada.”
“Dia juga minta nyariin juga ke kamu?”
“Yang cowok itu, kan?”
“Bukan. Cewek yang di depanku tadi itu, lho.”
“Lho, dia juga mau pinjem buku itu? Bukunya kan cuma satu.”
Kedua petugas itu pun kembali ke kursi kerjanya.
“Gini, Mas, Mbak,” petugas yang laki-laki berbicara kepada kedua mahasiswa itu. Kedua mahasiswa itu menjuruskan pandangan ke petugas laki-laki itu. “Olenka-nya di sini cuma satu. Tapi, kalian ingin minjemnya barengan. Gimana ini? Siapa yang paling butuh banget?”
Nah, baru setelah petugas itu berbicara kepada keduanya, barulah keduanya menyadari bahwa buku yang mereka cari sedari tadi sama dan di perpustakaan itu cuma ada satu. Mereka saling pandang. Sama-sama cemberut.
“Aku butuh banget, buat bikin makalah,” kata yang laki-laki.
“Aku juga, buat presentasi minggu depan,” kata yang perempuan.
“Nah, Mbaknya kan presentasinya minggu depan, gimana kalau aku dulu yang pinjem?”
“Nggak, tugasku sudah numpuk. Kalau bacanya mendadak, aku nggak bisa mendalami novelnya. Masnya makalahnya dikumpul kapan?”
“Besok Jumat. Empat hari lagi.”
“Nah, novel ini biar aku baca dulu, paling sehari langsung selesai. Paling besok sianglah selesai. Habis itu sorenya aku balikin ke sini.”