Gadis Sastra

Achmad Muchtar
Chapter #2

Dua

KAMPUS, sore hari, pemuda itu duduk di kursi panjang di depan perpustakaan. Sesekali, ia melirik arlojinya, dan sesekali ia melongok ke keramaian mahasiswa. Ia sedang mencari sosok gadis berambut panjang sepinggang itu datang ke perpustakaan. Sudah sejak satu jam yang lalu ia duduk di kursi panjang itu dan tidak kunjung menemukan gadis yang ia maksud. Ia tampak gelisah.

Sebelumnya, pemuda itu telah masuk ke perpustakaan untuk menanyakan ke petugas apakah buku yang ia cari kemarin sudah dikembalikan oleh gadis itu. Tetapi, petugas mengatakan bahwa gadis itu belum mengembalikannya. Mungkin nanti beberapa detik sebelum perpustakaan tutup, batinnya. Namun, jam sudah menunjukkan pukul empat sore dan perpustakaan sudah di ambang penutupan, gadis itu tak kunjung tampak batang hidungnya. Barangkali besok pagi, batinnya, lalu ia tampak ingin bergegas ingin pulang.

Beberapa saat setelah perpustakaan tutup dan para petugas sudah keluar dari perpustakaan, pemuda itu beranjak dari kursi panjang itu. Ia pulang. Namun, baru saja beberapa langkah meninggalkan gedung perpustakaan itu, pemuda itu menemukan sosok gadis berambut panjang sepinggang sedang berjalan di antara teman-temannya yang berjumlah empat orang. Gadis itu berada di tengah-tengah. Rambutnya tampak beberapa kali tersibak oleh angin yang meniup-niup lembut di kampus itu.

Ditemuinya gadis itu. “Hai,” katanya agak kencang agak ragu.

Gadis berambut panjang sepinggang itu lalu berhenti berjalan. Ia menengok ke arah pemuda itu. Seketika, keempat temannya juga berhenti. Gadis itu berbisik ke salah satu temannya sambil melirik pemuda itu, “Ini lho, Mas-mas bercambang yang kumaksud.” Lalu, temannya yang ia bisiki juga membisikkan ke teman-teman yang lainnya. Mereka paham, lalu memisahkan diri dari gadis berambut panjang sepinggang itu.

Pemuda dan gadis itu mendekat dan berdiri berhadap-hadapan. Mereka berdiri tepat di bawah Jembatan Budaya yang menghubungkan Gedung B—tempat perpustakaan itu—dengan Gedung A.

“Maaf, bukunya belum selesai kubaca. Baru setengah. Mungkin besok pagi. Malam ini aku bakal membacanya sampai habis. Aku janji,” ujar gadis itu.

“Oh, ya. Nggak apa-apa. Tapi, janji lho.” Pemuda itu menunjukkan pesonanya dengan tersenyum manis kepada gadis itu.

“Iya, aku janji. Besok pagi, beberapa menit setelah perpustakaan buka, kupastikan buku itu sudah bisa kamu pinjem.”

“Baiklah,” kata pemuda itu.

“Sekali lagi, maafkan saya ya, Mas.”

“Oh, nggak apa-apa. Besok pagi,” ujar pemuda itu, lalu manggut-manggut tanda paham maksud gadis itu.

Sesaat kemudian, keduanya berpisah. Mereka berpisah dengan arah berlawanan. Gadis itu berjalan ke selatan, menuju jalan di pinggiran Gedung A, sedangkan pemuda itu berjalan ke arah utara, menuju jalan di pinggiran Gedung B. Mereka sama-sama berjalan menuju parkiran. Jika tidak ada lapangan dan panggung terbuka, keduanya dapat berjalan beriringan. Jalan mereka sama cepatnya. Hingga akhirnya keduanya bertemu di Kolam Kodok dekat parkiran.

“Besok pagi, ya,” sapa pemuda itu, masih dengan senyuman manisnya.

“Iya, besok pagi,” ujar gadis itu, lalu menuju parkiran dengan cepat-cepat.

Sesaat setelah gadis itu melajukan sepedanya dan keluar dari parkiran, pemuda itu tampak menyesal. Ia melongok ke arah pintu keluar parkiran, gadis itu sudah raib. Ia menyesal tidak menanyakan namanya, atau barangkali menanyakan alamatnya. Dengan begitu, mungkin, ia dapat mengambil buku itu secepatnya begitu gadis itu selesai membacanya. Tak perlu menunggu jam delapan pagi di kampus untuk dapat segera mendapatkan buku itu. Ah, besok pagi aku juga akan ketemu lagi, batinnya. Pemuda itu lalu melajukan sepeda motornya.

Di perjalanan menuju indekosnya, gadis itu tampak senyum-senyum sendiri. Beberapa kali ia bahkan sempat mau jatuh dari sepedanya. Ia tidak bisa tidak mengingat senyum manis pemuda itu. Kalau dilihat-lihat, mas-mas itu cakep juga, batinnya. Lalu, ia teringat bahwa ia harus menyelesaikan membaca Olenka malam itu. Ia lajukan sepedanya lebih kencang. Segera, setelah ia makan malam, ia tiduran di ranjang dan asyik melahap buku itu sampai larut malam. Gadis itu tampak kelelahan. Tinggal beberapa halaman lagi buku itu selesai, tetapi ia sudah kalah oleh rasa kantuk.

Lihat selengkapnya