MALAM sebelum pertemuan di Jembatan Budaya, pemuda itu nongkrong di angkringan pinggir jalan. Pemuda itu bersama salah satu temannya. Tingginya hampir sama dengan pemuda itu. Keduanya seperti kembar, tetapi temannya tidak mempunyai cambang. Pemuda itu berambut cepak, sedangkan temannya berambut panjang seleher yang ujungnya diikat. Angkringan di daerah itu terkenal ramai. Berbagai makanan murah meriah dijual. Ada nasi kucing, mi rebus, minuman seperti es jeruk, jahe, es teh, dan susu, kopi, lauk pauk seperti telur, sate usus, sate telur, ayam, dan gorengan seperti tempe goreng, tahu goreng, ketela goreng, bakwan, dan sebagainya. Biasanya, pemuda itu memesan tiga bungkus nasi kucing dan segelas kopi hangat. Kini, tak seperti biasanya, ia memesan mi rebus dan segelas susu. Ia juga berniat mentraktir temannya itu.
“Ada apa sih, nggak seperti biasanya kamu nraktir aku makan?”
“Mau atau nggak? Mumpung aku masih bisa berbaik hati nih.”
“Maulah. Tapi, ah, bikin panasaran. Jangan-jangan kamu ada maunya.”
“Makanlah dulu, nanti aku mau tanya sesuatu.”
“Tuh, kan benar ada maunya,” ujar temannya, “sudah, sekarang saja tanyanya. Pertanyaanmu nggak bikin aku mogok makan, kan?”
Pemuda itu tampak bergeming. Lalu, ditatapnya temannya yang sedang melahap mi rebus. Ia pun juga mulai melahap mi rebusnya. Ia teguk satu kali susu pesanannya. “Oke. Jadi begini, kau tahu cewek yang tadi sore bicara denganku?”
“Di mana?”
“Bawah Jembatan Budaya tadi, lho, saat kamu mainan laptop di bangku taman.”
“Oh, tadi. Kamu pasti ingin tanya siapa dia. Dia adik angkatanku. Memangnya ada apa? Jangan-jangan kamu tertarik sama dia.”
“Aku hanya belum sempat berkenalan dengan dia.”
“Memangnya kamu ada urusan apa dengan dia?”
“Aku sepertinya sudah pernah cerita sama kamu.”