Jalanan Ibu Kota padat merayap. Bersileweran anak-anak manusia dibawah kolong langit yang mulai memerah. Memacu diri untuk menjemput malam. Dengan gesit Suci melajukan motornya. Walaupun terhalang kemacetan tidak memupus niatnya. Akhirnya sampai juga ditujuan. Suci memarkirkan Honda Beatnya di pinggir warung nasi campur. Lalu menjinjing keranjang ke dalam warung.
"Ee ... Cece sudah datang, ayo masuk sudah bibi siapin semuanya," sapa Bi Ati pemilik warung langganan Suci. Bi Ati mengambil keranjang bawaan Suci lalu menyusun nasi bungkus sampai penuh di kedua keranjang tersebut. Ditambah dua kantung besar yang isinya juga nasi bungkus. Kemarin Suci pesan 200 bungkus, lebih banyak dari biasanya. Kalau di akhir pekan hanya 75 bungkus kadang lebih tergantung dana sumbangan.
" Ini bi uangnya, aku lebihin dua lembar Bi." Suci menyerahkan lembaran merah, dari dalam tas kerjanya disambut Bi Ati dengan senang.
"Masya Allah ... makasih banyak Ce, semoga Cece diberikan kesehatan selalu, dijauhkan dari hal-hal buruk, berkah melimpah buat Cece."
" Amin ... doa yang sama juga buat Bibi. Aku cabut dulu ya Bi."
Bi Ati menatap kepergian Suci yang sudah menghilang di ujung jalan. Ada rasa haru dan takjub.
"Kok ada ya jaman sekarang gadis seperti dia, sempetin waktu untuk peduli sama orang lain, udah cantik, baik hati lagi. Semoga kamu selalu dilindungi nak, jangan putus berbuat kebaikan." Bi Ati berbicara pada dirinya sendiri sambil melanjutkan pekerjaannya. Ia selalu kagum dengan sosok Suci.
Avanza putih dari kejauhan setia membuntuti Suci. Memantau gerak gerik Suci dari jarak yang aman. Di ujung lampu merah, sekitar sembilan anak mulai berhamburan menuju Suci saat dia memarkirkan motornya. Mereka berlarian dengan dagangan asongan mereka tanpa merasa terbebani. Tampak rona kebahagiaan dari wajah-wajah kucel mereka.
"Hore ... Cece datang!" Tanpa sungkan mereka saling berebutan memeluk Suci. Ia balas memeluk mereka tanpa rasa jijik. Tingkah mereka menarik perhatian orang-orang yang berlalu lalang. Perbedaan yang mencolok dari penampilan mereka yang bagaikan langit dan bumi menjadi tanda tanya.
"Loh kok kucel begini." Suci menepuk lembut dan mengusap kepala mereka satu per satu.
"Mana baju yang hari itu Cece belikan Dam, udah Cece bilangkan jangan pake baju seperti gini," ujar Suci pada bocah yang bernama Adam, sambil membetulkan kancing kemeja yang lusuh dan nampak kumal dengan sobekan di sana sini.
"Kata bapak jangan pake baju bagus nanti nggak ada yang kasian, jualan Adam nanti nggak laku." ujar bocah sembilan tahun itu.
"Memangnya Adam mau jualan atau ngemis?"
"Jualan Ce."
"Nah Adam niatnya untuk jualankan? kalau pake baju seperti gini malah orang nggak tertarik untuk beli jualan Adam. Apalagi yang dijual makanan. Nggak boleh lho mengharapkan pengasihan orang lain, nanti Tuhan ma ...."