Gadis Tanpa Ayah

Uci Lurum
Chapter #3

Jangan menangis Ce ...#3

Mobil itu langsung tancap gas begitu melihat geng remaja, yang menuju ke arahnya dengan bambu di tangan mereka.



"Coba aja tadi diam bentar lagi di situ, gue habisin!" ujar jafar, remaja bertato di sekujur tubuhnya.



"Mau ngapain kalian bawa-bawa bambu gitu! mau ngebunuh orang hah!" Suci berdiri di depan pintu dengan matanya melebar. Kulitnya yang putih memerah menahan amarah



"Ngapain kamu bawa bambu gitu!" bentak Suci lagi.



"Saya tidak rela Ce, jika ada yang nyakitin Cece." Jafar tertunduk tidak berani menatap Suci begitupun yang lainnya.



"Hoho ... jadi kamu merasa hebat membela Cece? memangnya kamu tau orang itu mau nyakitin Cece? Hah! jawab!" Sorot mata Suci nyalang menatap Jafar yang menunduk, matanya yang memerah mulai terasa panas, ada rasa kecewa yang terselip di dadanya.



"Setidaknya jika orang itu punya niat baik dia tidak akan membuntuti Cece, pasti d-" 



"Stop! Jangan kamu benarkan tindakanmu! Apapun itu ... ingat! Apapun itu! Jangan sekali-kali kamu menyelesaikan masalah dengan masalah! Bukan hanya buat Jafar tapi buat kamu, kamu, dan kalian semua yang ada di sini." Suci menunjuk mereka satu per satu. Suasana hening tercipta.



"Belajarlah untuk menghilangkan jiwa premanisme kalian, jangan pupuk mental-mental kriminal dalam diri kalian. Apapun masalahnya dan situasinya cobalah melihat dari sudut pandang yang positif." Suara Suci serak menahan tangis, perasaannya campur aduk. Suci merasa gagal mendidik mereka.



"Belajarlah untuk menghargai diri kalian sendiri, berusahalah untuk selalu bersikap positif, biar cap sampah masyrakat yang sudah melekat pada diri kalian bisa dihilangkan." Gadis itu menghirup napas dalam-dalam dengan kasar dihempaskannya. Rasa sesak masih terasa menghimpit dadanya.



"Cece kecewa sama kalian ...." Akhirnya bendungan yang sejak tadi ditahan, jebol. Bulir-bulir bening itu berebutan keluar. Bahu Suci terguncang menahan tangis. 



Suasana sedih terasa, rahang remaja- remaja itu terlihat mengeras, bocah-bocah cilik tanpa malu menangis tersedu-sedu, menyaksikan orang yang begitu berjasa bagi mereka, orang yang tidak ada hubungan darah tapi berlaku selayaknya seorang ibu. 



Seperti ini kah sakitnya seorang ibu yang kecewa terhadap anaknya, mereka tidak tahu karena mereka tidak pernah mempunyai ibu.



Jika ingin memilih mereka juga tidak ingin ditakdirkan terlahir sebagai anak-anak yang terbuang. Tidak ingin merasakan kerasnya hidup. 



Mereka merindukan seorang ibu yang berlari mengejar mereka dengan sapu ketika mereka salah, merindukan bentakan-bentakan seorang ayah ketika mereka membuat onar. 



Mereka hanya menyaksikan itu, ditakdir orang lain yang terlelap dibawa selimut hangat, sementara mereka meringkuk berselimut angin malam dibawah rintik hujan.



Salahkah jika mereka tidak tahu bagaimana cara mereka mencintai, bagaimana cara mereka berbicara lembut, karena sejak dilahirkan mereka tidak pernah merasakan itu.



Bagaimana mereka bisa katakan manis jika mereka tidak pernah mengecap apa itu manis, karena yang mereka kecap hanya pahit.



Suci menyambar tas kerja serta kunci motornya yang tadi diletakkan di atas meja, setengah berlari keluar dari ruangan itu.



Mereka menatap ke arah Suci yang dengan tergesa-gesa melajukan motornya.


Lihat selengkapnya