"Hah?" Mata yang agak sipit itu membesar, ia menengadah memandang lelaki di depannya. Lelaki mempesona dengan tatapan teduhnya, menggambarkan hatinya yang tulus.
"Nikah yuk," ulang Aris.
"Ihhh ... nggak romantis." Suci memberenggut lalu mendorong tubuh Aris.
"Nggak romantis?" Alis tebal yang tersusun rapi itu berkerut.
"Orang di mana-mana ngelamar tu suasananya romantis, ngundang dinner kek ... terus tiba-tiba ngasih cincin, suprais gitu. Pokoknya ala-ala drakor gitu kek ... ini malah di depan kamar kos, masih mending depan kamar hotel."
"Duh ... kebanyakan nonton drakor dek."
"Ya udah nikah sama oppa-oppa Korea aja," lanjut lelaki berwajah berkesan menarik itu.
"Ihhh ... Abang, nyebelin tau nggak."
"Lah? kan tadi Ade bilang ala-ala Korea gitu. Ya udah sama oppa-oppa Korea aja. Abang mah bukan orang Korea."
"Ke hotel yuk," ujar Aris lagi.
"Hah? ngapain ke hotel?" Otak Suci langsung memasang alarm.
"Mau minjam pintunya buat lamar adek." Senyum jenaka terbit di bibir tipis Aris.
"Idih ...Baang!" Suci menghentakkan kakinya.
"Lah ... tadi katanya masih mending depan kamar hotel, daripada di sini."
"Iiihhh ... Abang tu ya." Suci mendekat lalu mencubit perut Aris gemas. Aris mengelak, lalu menarik tubuh Suci ke dalam dekapannya, mereka tertawa bahagia.
"Jangan sedih ya. Abang paling nggak bisa lihat kamu sedih," ujar Aris sambil mengeratkan pelukannya. Suci mengangguk dalam pelukan Aris.
"Abang akan selalu ada buat Adek." Suci mengeratkan pelukannya. Kehadiran Aris selalu memberikan warna tersendiri buat Suci.
"Nikah yuk," bisik Aris, mereka berdua tertawa lepas.
***
Sudah lima hari Suci tidak singgah ke pangkalan. Suci hanya mengirim barang barang yang mau dibagikan melalui Rudy. Ada rasa rindu untuk menyapa mereka, bukan karena Suci marah tapi karena kuatir jika penguntit itu muncul lagi, lalu membuat mereka bertindak anarkis seperti sebelumnya.
Tapi tarikan itu begitu kuat sehingga Suci memutuskan untuk pergi, tapi hanya untuk ketemu Badri dan ke rumah Mak Fadil.
Suci mengambil ponselnya lalu menekan aplikasi berwarna hijau itu, untuk melakukan Vidio call ke Aris. Suci ingin menanyakan kesediaan Aris untuk mengantarnya tapi tak kunjung terhubung.
"Apa aku pergi sendiri aja ya?" tanya Suci pada dirinya sendiri sambil memasukkan ponsel kedalam tasnya.
Sehabis jam kantor, dengan mengendarai beat kesayangannya Suci melaju ke rumah kang Badri.
Pas ketemu dengan Badri yang sedang berjalan dengan beberapa anak-anak di ujung gang. Badri terkejut bertemu dengan Suci. Laki-laki kerempeng itu berdiri mematung.
"Eh ... Kang pas ketemu di sini. Cece mau ke rumah Akang." tanpa menggubris kata-kata Suci, Badri menarik tangan bocil-bocil itu berniat memutar jalan.
Suci cepat-cepat turun dari motornya menghadang mereka, lalu mengambil ponselnya membidikkan kamera ke arah mereka, berulang-ulang.
"Kang ... Cece sudah punya bukti. Akang maksa anak-anak buat ngemis. Kalau kang Badri bawa mereka, Cece langsung ke kantor Polisi menyerahkan foto ini semua."
Badri langsung melepas tangan anak-anak itu. Namun wajahnya terlihat gusar. Bocah-bocah itu langsung berlarian ke arah Suci.