"Selamat yah Mbak, anaknya berjenis kelamin perempuan. Dia sehat dan sangat cantik, sama seperti ibunya."
Ucapan bidan berhijab putih itu seketika membuat wajah seorang perempuan muda yang baru saja melahirkan tampak syok. Ia menelaan air ludahnya sendiri, dengan kening dibanjiri oleh keringat dingin.
*
Tepat pukul satu malam, beberapa warga yang sedang bertugas meronda berkeliling kampung tiba-tiba dikagetkan oleh suara tangisan bayi dari arah sebuah rumah terpencil dekat hutan.
Mereka langsung saling bertatapan satu sama lain dengan dahi yang mengerut. Senter lalu diarahkan ke rumah tersebut.
Rumah sederhana yang bercat biru dongker itu terlihat sepi seperti tidak berpenghuni. Para warga tadi pun kembali saling bertatapan.
"Itu suara tangisan bayinya Mbak Farah bukan, yah?" tanya salah satu dari mereka.
"Hus, bayinya Mbak Farah 'kan sudah meninggal sesaat setelah dilahirkan." Mereka kebingungan dan menggaruk-garuk kepala.
"Iya saya lupa, Mbak Farah cuma tinggal sendiri di rumah itu, lalu tadi tangisan bayi siapa, dong? Di kampung ini 'kan tidak ada yang punya bayi. Jangan-jangan---"
Ucapan salah satu dari warga itu terpotong, karena suara tangisan bayi tadi kembali terdengar dan lebih keras dari yang sebelumnya.
Mereka sangat kaget dan akhirnya lari kocar-kacir karena ketakutan. Salah satu dari mereka bahkan ada yang jatuh menggelinding di jalan menurun akibat tersandung batu.
Ada juga yang berlari salah arah. Warga lain berlari ke arah kanan, dia ke arah kiri karena terlalu panik. Mereka pulang ke rumah masing-masing dan tidak melanjutkan tugasnya.
*
Sinar matahari mulai menyinari bumi. Embun pagi pun tampak berkilau menyejukan mata siapa pun yang melihatnya.
Para warga seperti biasa menjalani aktivitas di pagi hari. Ibu-ibu berkerumun di warung---membeli sayuran---untuk dimasak hari ini.
Mereka memilih sayuran sambil berbincang tentang masalah harga minyak yang melonjak tinggi, hingga membicarakan tetangga yang jarang mandi.
Sampai akhirnya, mereka juga membahas suara tangisan bayi yang sering terdengar di tengah malam, selama beberapa hari terakhir.
"Bu, tadi malam saya mendengar ada suara tangisan bayi, tapi tidak tau arahnya dari mana." Salah satu dari ibu-ibu itu memulai perbincangan.
"Iya, Bu, saya juga mendengarnya hampir setiap malam, loh. Ngeri yah, Bu. Bulu kuduk saya sampai berdiri. Kira-kira itu suara bayi manusia atau bayi uka-uka yah, di sini kan tidak ada yang baru melahirkan, kecuali Neng Farah yang rumahnya terpencil di ujung sana. Itu pun bayinya sudah meninggal." Mereka yang sibuk memilih sayuran langsung berhenti dan fokus mendengarkan topik pembicaraan.
"Kalau menurut saya sih, si Neng Farah teh belum ikhlas kehilangan bayi itu. Jadi bayinya teh gentayangan!" celetuk dari si ibu yang memakai daster bermotif gambar kura-kura.
Ibu-ibu yang lain pun mendadak memegang pundaknya masing-masing karena merinding. Mereka lalu terdiam saat Farah tiba-tiba datang untuk berbelanja.
"Eh, Neng Farah mau beli sayuran juga, yah?" tanya si ibu yang badannya paha semua sambil senyam-seyum.
Farah mengangguk kecil dengan bibir melengkung ke atas. "Iya, Bu."
Salah satu ibu-ibu lalu mendekati perempuan berhijab itu dan memegang pundaknya. "Kami turut berduka cita atas meninggalnya bayi Neng Farah. Sabar yah, Neng!"
"Iya Bu, terima kasih banyak." Farah sedikit membungkukan badannya.