Seorang wanita paruh baya itu menatap Gaitha dengan tidak suka. Tampilan Gaitha yang akan selalu menjadi sorotan pertama orang yang mengenalnya. Mereka akan langsung menyimpulkan apa yang mereka lihat sebelum mengetahui yang sebenarnya.
"Owh."
"Kamu siapa?"
Gaitha merotasikan matanya malas. "Gue makhluk hidup! Ada yang perlu gue jawab lagi?"
Alva menarik lengan Gaitha agar bisa pergi dari kerumunan itu. Tidak akan baik bagi citranya jika media mengekspos wajahnya.
Gaitha memberontak agar Alva mau melepaskannya. "Kenapa lo gak punya malu sih?"
Lagi dan lagi Alva selalu seperti ini. "Emang dari sononya!" Gaitha mengambil permen kakinya dari saku seragamnya. "Udah dari zigot gue petakilan gini. Mana ada nyokap yang sabar ngurusin anak pecicilan macam gue?"
"Dasar anak tidak berpendidikan!" cibir salah satu wartawan itu. Telinga Gaitha mendadak menjadi panas sehelah mendengar ejekan itu. Darahnya mendadak mendidih dan sangat ingin menyimpan mulut orang itu dengan kaos kakinya yang sudah tidak dibasuh selama satu bulan. Ia membuang permen kakinya yang masih utuh itu dan berbalik badan.
Secepat mungkin ia menepis tangan Alva dan berjalan menghampiri orang yang tadi mencemoohnya. Ia mendorong tubuh orang itu sehingga membuat yang lain membelalakkan matanya.
"Ngomong apa lo?" Gaitha menaikkan sebelah alisnya. "Bilang apa lo!"
Alva berusaha mengajak Gaitha untuk pergi tetapi selalu di tolak. Gideon dan Galen juga hanya bisa diam tidak bisa bertindak lebih.
"Gal? Gi? Bantuin gue bodoh!" Alva mengumpati kedua sahabat Gaitha yang sangat lemot itu. Untung saja mereka baik kepada Gaitha kalau tidak sudah habis.
"Lo bilang gue gak berpendidikan kenapa? Ngerasa lo paling pinter dan wah gitu?" Gaitha terkekeh pelan dengan mengangkat ujung bibirnya.
"Pasti orang tua kamu gak bisa mendidik anaknya!"
"Bokap gue selalu mendidik anaknya dengan penuh kasih dan sayang! Gak ada yang bisa nandingi dia!" balas Gaitha dengan angkuh. Cewek ini tidak akan mudah menyerah dan menerima segala hinaan tentang papanya. Karena bagi Gaitha ayahnya lah sosok yang paling ia sayangi dan cintai selama ini.
"Ibu kamu gak ngedidik kamu?" Wartawan itu seolah tidak suka dengan Gaitha.
"Gak usah sebut dia!" Gaitha tidak Sudi mendengar kata itu. "Pantes aja kalau kamu kayak gini. Mungkin ibu kamu gak bener!"
Plek....
Satu tamparan melayang pada pipi wartawan itu. Gaitha tidak bisa lagi mendengar hinaan itu. "Gak suka gue tampar lo?"
Gaitha masih tersenyum tipis sangat tipis bahkan tidak terlihat. "Kalau nyokap gue gak bener kenapa? Masalah buat lo?" Ia terkekeh pelan.
Gaitha menunjuk wajah wartawan itu dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kalau pun dia masih hidup! Gue gak sudi ngakuin dia sebagai nyokap gue!"
"Berhenti! Kamu ini anak cewek harusnya bisa menjaga etika kamu!" Seorang wanita paruh baya yang masih memiliki tubuh sehat serta modis itu mendekati Gaitha dan juga gerumbulan yang sudah ada di sekitarnya.
Gaitha masih menatap wanita ini dengan lekat. "Ada apa?" tanyanya dengan santai.
"Kamu gak di ajarin sama orang tua kamu buat sopan sama yang lebih tua?"
"Sopan? Kenapa gue harus sopan sama orang yang bahkan gak sopan sama gue?" Gaitha berdecak pelan. "Kalaupun ada bocil yang usianya lebih muda dari gue dan dia berperilaku sopan sama gue! Gue bakalan hormatin dia!"
"Sekali lagi!" Gaitha berkacak pinggang. "Bener apa yang kalian tau kalau gue besar tanpa kasih sayangs seorang ibu. Jangan pernah bahas dia lagi!"
Gaitha langsung berjalan menjauhi tempat itu. "Bener emang tingkah kamu mirip ibu kamu ya?" Langkahnya terhenti.
Gideon menyenggol lengan Galen yang masih menatap kejadian itu. "Gimana?"
Alva tahu apa yang sedang mereka pikirkan. "Masa lalu Gita yang kalian belum ketahui bentar lagi bakal ke bongkar," lirihnya. Membuat 2G mengernyit bingung.
"Jangan samain gue sama tu wanita!" Gaitha memutarkan tubuhnya menatap tidak suka wanita itu. "Ibu mana yang tega ninggalin putri semata wayangnya demi wujudin impiannya menja-"
Alva langsung menutup mulut Gaitha dan menariknya untuk menjauh. "Kontrol emosi lo!"
Dengan perasaan dan hati dongkol Gaitha mengomel kepada Alva. Mungkin ia akan kehilangan cara lain untuk bisa menyalurkan amarah dan juga rasa kecewanya.
***
Masih dengan wajah yang murung Gaitha menyangga wajahnya dengan bibir yang mengerucut. Kesal bercampur dengan segala masalahnya.
"Berusaha untuk bisa hidup lebih baik, Git!" Alva menepuk pelan bahunya.
"Gai? Cerita sama kita ada masalah apa?" tanya Gideon dengan lirih.
"Kalau gak mau cerita yaudah kita diem deh," sambung Galen.
"Tanya sama Alva aja!"
Mereka berdua menatap Alva yang masih sibuk memakan kacang kulit. Memang ini kebiasaan Alva yang akan selalu memakan kacang kulit dimanapun ia berada dan kapanpun.
Sebelum bercerita Alva meminum air terlebih dahulu. "Gita itu punya masa lalu yang pahit!"
"Nyokapnya ninggalin dia karena lebih memilih karirnya daripada anaknya sendiri. Bokapnya yang udah rawat dia selama ini. Mungkin kalian gak tau karena Gita gak pernah cerita masalah pribadi yang masih bikin dia sakit hati."
"Lo bisa nyanyi Gai?" Gideon masih menatapnya tidak percaya. Gaitha mengangguk perlahan.
"Kenapa gak bilang njing?"
"Gak usah ngegas goblok!" Alva menggosok-gosokkan telapak tangannya ke telinganya yang terasa penging sebab teriakan dari 2G.
"Kenapa gak mau nyanyi?"
"Nyokap gue dulunya penyanyi dan gue paling anti sama hal itu sekarang. Hobi gue Sedari kecil emang nyanyi tapi semua itu berubah waktu gue tau nyokap dulunya penyanyi dan ninggalin gue!"
"Gue gak pernah cerita ke kalian karena gue belum siap. Sekarang udah tau semua kan?"
Gideon menggelengkan kepalanya. "Apa lagi?"