Gaitha langsung masuk ke dalam rumahnya setelah sampai diantar Atha. Ia memasukkan plastik sampah yang ada di teras rumahnya. Setelah memasukkannya ia segera masuk.
"Papa udah pulang ya? Tumben mobilnya udah di garasi?" Gaitha memicingkan kepalanya menatap mobil yang sudah terparkir dengan rapi itu. Ia lalu menggidikkan bahunya dan berjalan masuk ke dalam.
"Papa? Gaitha pulang!" teriaknya sembari menengok ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan papanya. Rumah hang besar ini hanya mereka berdua hang menempatinya. Mungkin, itu lebih nyaman bagi Gaitha selama papanya sibuk bekerja.
"Kok gak ada suaranya sih?" Gaitha mulai cemas karena tidak ada sahutan dari papanya. "Apa gue cek ke kamarnya ya?"
Gaitha langsung menaiki anak tangga untuk menghampiri papanya di kamar. Ia membuka pintu itu dan segera lari saat melihat kondisi papanya saat ini. Papanya kedinginan dan suhu tubuhnya sangat panas. Gaitha bingung harus bagaimana lagi. Rasa bersalah terbesit di dalam dirinya ketika melihat kondisi papanya saat ini. Mungkin, ini adalah karena keegoisan dari Gaitha. Gadis itu selalu menyalahkan dirinya sendiri.
"Papa?" Gaitha mengecek suhu tubuh papanya. Ia merasa khawatir dan segera meminta bantuan kepada seseorang.
"Papa harus kuat! Gaitha gak mau kehilangan papa setelah mama!" Gaitha memeluk lengan papanya dengan erat. Rasa takut akan kehilangan terbayang di pikirannya.
"Papa harus sembuh lagi dan Gaitha bakalan nurutin kemauan papa!" Gaitha tak bisa menahan air matanya lagi. Mungkin, ini adalah sisi lain Gaitha hang tidak diketahui siapapun.
***
Diruangan serba putih Gaitha menunggu dokter keluar dari ruangan untuk mengecek kondisi papanya. Gaitha tidak bisa diam di tempat dan terus saja berjalan kesana kemari bagaikan setrikaan yang masih menjalankan tugasnya. Hatinya gusar akan keadaan itu.
Siapa yang tidak akan merasakan takut ketika orang yang kita sayangsedang kesakitan?
"Papa? Gaitha gak mau kehilangan papa!" Gaitha mekijat keningnya dengan pelan. "Hidup Gaitha udah bahagia sama papa kenapa kebahagiaan Gaitha harus terus menghilang?"
Gadis itu sudah tidak tahan untuk menahan air matanya. Ia sengaja tidak mengabari sahabatnya atau siapapun karena tahu kalau bukan hanya dirinya yang sedang dilanda kesedihan.
Masalah silih berganti seraya mengikuti hari yang terus berganti pula. Bagaimanapun rasa sadar diri harus dijaga. Meski, mereka tidak pernah mengeluh tapi harus bisa menempatkan diri dan pada waktu yang tepat.
"Kalah papa sembuh aku janji akan berdamai sama masa lalu. Aku gak akan ngelarang papa kalau mah nikah lagi. Tapi, aku gak bisa janji kalau gak bikin rusuh di sekolah." Gaitha sudah menelungkupkan kedua tangannya. Seraga berdoa agar papanya diberi kesembuhan.
"Siapa keluarga bapak Gito?"
Mendengar suara dokter keluar Gaitha langsung berdiri danengusap air matanya cepat. "Saya dokter!"
"Bagaimana keadaan papa saya? Dia baik-baik aja kan dokter? Jawab dokter!"
"Tenang dulu ya adek! Papa nya baik-baik aja kok. Beliau hanya kurang istirahat aja dan makannya juga tidak teratur," jelasnya.
"Tapi, papa nggak papa kan?"
Dokter itu tersenyum menatap Gaitha. "Papa kamu nggak papa. Mama kamu dimana?"
Gaitha terdiam mendengar kata itu. "Tidak usah di jawba Gita. Saya tau kalau dia sudah meninggalkan kalian berdua. Saya sahabat papa kamu."
"Apa dokter tau bagaimana wajah wanita itu?"
Dokter itu terkekeh mendengar Gaitha masih tidak mau mengucapkan kata mama atau lainnya. "Jangan benci sama dia. Bagaimanapun juga dia yang sudah melahirkan kamu. Nggak sembarangan lo yang dia korbankan. Nyawa!"
"Seburuk apapun perlakuan dia dan bagaimanapun juga keadaannya dia tetaplah mama kandung kamu. Syurga di bawah telapak kaki ibu. Kalau kamu memaafkannya dan berdamai dengan masa lalu pasti hidup kamu akan bahagia."
"Dengan kamu mengubur impian dan juga hobi itu tidak akan menghapuskan memori masa lalu. Lawan! Jadikan itu semua sebagai tujuan kamu hidup, dan ubahlah impian serta hobi kamu itu sebagai penyemangat. Jangan mengingat hobi kamu berhubungan dengan mama kamu yang pergi ninggalin kamu. Tapi, darah seninya sudah mengalir di tubuh kamu."
Gaitha berusaha memahami ucapan dokter itu. Bagaimanapun juga semua itu benar. Ia harus berdamai dengan masa lalu dan jangan memandangnya dengan penuh dendam tidak baik.
"Terimakasih, dokter." Dokter itu tersenyum lalu mengusap puncak kepala Gaitha. "Jaga papa kamu, ya?" Gaitha mengangguk sebagai jawaban nya. Lalu, dokter itu melangkah pergi meninggalkan Gaitha.
Tak perlu menunggu lebih lama lagi Gaitha langsung masuk kedalam dan melihat kondisi papanya.