Sebuah ruangan penuh dengan suara pecahan kaca. Teriakan, cacian dan juga makian terdengar jelas. Namun, ruangan itu kedap suara sehingga tetangga tidak akan ada yang tahu dengan suara dan masalah yang menimpa rumah itu.
"Kamu sekolah ngapain aja?" bentak seorang laki paruh baya itu dengan menggunakan kemeja setelah berwarna hitam.
"Saya sekolahkan kamu supaya menjadi orang yang nantinya berguna! Dasar anak tidak tau diri!"
Cacian dan makian itu bukan hanya sekali, dua kali, tetapi sering kali. Siapa yang tidak merasa sakit ketika setiap harinya selalu dimaki dan dimarahi. Kesalahan yang tidak diperbuat terkadang menjadi sasaran.
"Mau jadi apa kamu kalau sudah besar?" Suara itu bukannya menurun tetapi malah menambah satu oktaf lagi.
"Pukul aja pa! Pukul! Bukan sekali papa pukul aku tapi sering pa! Apa papa pernah tau gimana ada di posisi Galen?" Galen sudah tidak kuat menahan sakit di hatinya. Mungkin jika sakit fisik ia akan bisa mengobatinya tetapi luka hati? Bisa mengatakan iya tetapi memori dan rasa sakit itu akan selalu membekas disana.
Galen menatap papanya dengan mata sembabnya. Luka dilengannya yang sudah mulai pulih kini kembali mengeluarkan darah kembali.
"Papa kira cuma papa yang tersakiti disini?" Galen menatap remeh ke arah papanya. Rasa sakit yang selama ini ia pendam seperti ingin meledak saat ini detik ini juga. "Kalau papa tau! Aku lebih sakit pa!"
"Setiap hari luka yang papa kasih ke aku gak ada rasanya! Luka ini?" Galen menunjuk lengannya yang mengeluarkan darah segar itu. Kemudian ke arah tubuh yang lainnya. "Ini? Dan ini?" Menatap miris kearah papanya.
"Gak ada rasanya dan bikin aku sakit! Yang bikin aku sakit itu papa!"
"Papa mana pernah perhatian sama aku? Selalu aja papa bandingin aku sama kak Samar! Semua yang dilakuin kak Samar papa selalu dukung dia! Gak pernah main tangan dan kasar sama dia!"
Suaranya mulai melemah menatap papanya. "K-kenapa, pa? Kenapa ... Papa selalu nyalahin aku dan jatuhin aku?"
"Mama meninggal bukan salah aku, tapi itu sudah takdir!" Air matanya sudah tidak sanggup ia tahan. "Aku sakit selalu papa katain seorang anak pembunuh! Apa papa tau apa itu artinya?"
"Papa sama aja ngakuin kalau papa itu adalah suami dari istri seorang anak pembunuh!"
"Lancang kamu bicara seperti itu dengan saya?" Satu tamparan melayang mengenai pipi Galen. Hingga sudut bibirnya mengeluarkan darah. Ibu jarinya mengusap darah itu. "Tampar Galen sesuka papa!"
"Dasar anak tidak tahu diri!"
"Papa mau bilang apalagi? Bilang kalau aku ini anak bodoh? Aku ini anak pembawa sial? Anak pembunuh? Anak yang gak tau diri? Anak yang nggak punya masa depan? Atau apa pa? Semuanya ada di aku yang jelek! Sedangkan yang bagus hanya kak Samar!"
"Aku memang gak pinter olahraga kayak kak Samar, tapi itu bukan tandanya aku gak bisa sukses! Setiap orang punya keahlian dan bakat masing-masing!"
"Berani kamu sekarang lawan saya?" Saat tamparan itu hampir melayang kembali mengenai wajah Galen, tapi ada seseorang yang lebih dahulu mencekalnya. "Mikir!"
***
Malam itu suasana yang begitu indah. Langit bertabur bintang yang begitu indah dan sinar rembulan menjadi pelengkapnya. Lampu kelap-kelip menghiasi jalanan itu.
"Mang? Mie ayamnya jangan lupa gak pakai timun," Gaitha sibuk mengetuk meja di depannya. "Tak kan siakan dia," Gaitha bersenandung pelan sambil menunggu pesanannya datang.
"Mang? Saya boleh tanya nggak?" ucap Gaitha sembari menatap penjual mie ayam itu. Sekarang, ia memilih untuk rebahan di bawah pohon yang terdapat tikar disana.
"Tanya apa neng Gaitha?" Penjual itu sudah hafal dengan Gaitha. Bagaimana tidak? Setiap malam Gaitha selalu datang bukan makan tetapi hanya sekadar mengajak dirinya untuk mengobrol.
"Saya ini lagi di fase tambah banyaknya haters yang nggak suka sama saya mang!" Gaitha tengkurap dengan wajah yang ia sangga dengan kedua tangannya. "Kadang saya udah bersikap normal tapi jiwa bar-bar saya meronta ingin keluar!"
"Be yourself!"
"Anjay! Mang Agus bijak sekali!" Gaitha terkekeh pelan. "Tapi, gimana ya mang?"
"Gimana apanya?" Mang Agus berjalan sambil membawa satu mangkuk mie ayam dan juga es teh pesanan Gaitha. Ia ikut duduk di kursi plastik berwarna hijau telur bebek itu dan menatap Gaitha yang semringah menerima mie ayam pesanannya.