Gaitha

Lisa Ariyanti
Chapter #24

Percaya diri aja

Seperti burung yang sudah berkicau dengan merdu di pagi hari, begitu juga dengan Gaitha yang sudah mencak-mencak Di pagi hari karena ulah kedua sahabatnya.

"Kalian ngapain udah di rumah gue! Gue masih belum mandi astaga!" Gaitha sudah berkacak pinggang melihat kedua cowok itu dengan santainya memasak di rumahnya di jam subuh seperti ini. "Kalian gak dicariin sama bonyok apa?"

Gaitha menuruni anak tangga menuju dapur yang sudah berisikan dua makhluk sedang memasak itu. Jam masih menunjukkan pukul 4.30 WIB. Niatnya untuk mengambil air minum ia urungkan dan berjalan menghampiri mereka berdua.

"Gue aja ada rencana mau tidur lagi," keluh Gaitha sambil menutupi mulutnya yang menguap. Gadis dengan piyama bergambar panda itu menarik kursi di dekatnya dan duduk dengan tenang, sembari memperhatikan dua cowok memasak. Kedua tangannya ia letakkan di meja dengan saling bertumpu satu sama lain.

"Kita nginep semalam disini. Kata bapak kau kita boleh asal paginya bikin sarapan!" Gideon menjawab dengan menggunakan nada orang Batak. Sombong sedikit tidak papakan?

"Ha?" Tidak percaya dengan tingkah mereka berdua lagi pandangan Gaitha langsung menuju meja makan di depannya yang berisi nasi goreng dan juga sudah ada sosis, bakso, dan juga ayam goreng. "Kalian yang masak semua ini?" Gaitha menoleh ke arah Gideon dan juga Galen yang sibuk mencuci perabotan bekas mereka memasak.

Gideon menoleh sebentar. "Menurut lo aja!" Lalu, kembali melanjutkan aktifitasnya untuk memasak, serta mencuci beberapa piring dan mangkuk.

"Nyebelin banget sih!" Gaitha menjadi teringat dengan masa-masa sekolahnya dulu ketika Alva juga memasakkan dirinya makanan yang sama seperti ini. Hanya Alva yang bisa memasak bukan seperti dirinya yang asik makan dan berkomentar. Air matanya turun mengingat kenangan manis itu. Namun, kini semua itu hanga tinggallah kenangan dalam angan yang ingin di gapai tetapi terhalang oleh kenyataan.

"Kenapa lo nangis?" Galen bingung sendiri melihat Gaitha meneteskan air mata dan meletakkan teh hangat di meja. Setelah itu, ia mendekati Gaitha dan mengelus puncak kepalanya. "Adik kakak kenapa nangis? Cerita sama kakak nanti bakalan kakak tiru caranya buat bikin kamu nangis!"

"Aw ... "Galen mengaduh lantaran pantatnya di timpuk menggunakan panci perebus air oleh Gideon. "Gak aestetik banget lo!"

"Lagian kok cara bikin nangis yang mau lo tiru bodoh!" cerca Gideon yang kembali meletakkan panci itu. Ia berbalik mengelap tangannya yang basah. "Buruan makan nanti kita ke sekolah latihan buat besok lomba. Jangan bilang kalau?"

"Gue gak ingat kalau besok lombanya. Lagian males ngingat sih!" Gaitha menjawabnya dengan enteng dan sibuk mengambil nasi serta lauk pauk itu. Aromanya terlihat menggiurkan mata serta cocok dengan perutnya yang sudah bunyi sedari tadi.

"Kalian makan juga."

"Yaiyalah! Masa iya kita yang masak nggak ikut makan!" Keduanya langsung berebut makanan membuat Gaitha tersenyum simpul. Impian untuk makan bersama dengan keramaian yang di rindukan akhirnya terwujud meski bersama sahabat.

***

"Mama beneran nggak papa Atha tinggalin sekolah? Atha gak tega kalau lihat mama kayak gini. Luka ini aja belum kering, nanti kalau orang gak punya akal itu kembali gimana? Atha gak mau kalau mama terus di sakiti kayak gini terus."

"Mama nggak papa. Lagian kalau kamu nggak sekolah gimana mau ngangkat derajat keluarga kita? Kamu harus bisa suskes dan banggain mama. Bikin perempuan yang udah hancurin keluarga kita itu iri dengan kita yang bisa hidup lebih baik daripada mereka."

"Balas dendam terbaik itu adalah dengan sebuah karya dan prestasi bukan dengan kekerasan yang sama seperti yang mereka lakukan."

"Jangan terlalu serius dalam belajar. Kamu juga perlu menikmatinya agar masa sekolah kamu bisa memberikan kesan yang baik."

"Atha juga mau minta maaf karena kemarin gak sengaja nampar Gita. Atha beneran nyesel, ma! Atha di luar kendali karena Gita ngomong kasar sama cewek lain dan Atha gak suka." Atha mengusap air matanya.

Mamanya tersenyum melihat anaknya. "Udah minta maaf?" Atha mengangguk. "Gitanya gimana responnya?"

Atha memandang mamanya. "Malah seneng." Mamanya menyernyit tidak percaya. "Aneh banget sama tuh cewek! Katanya dia malah seneng karena bisa ngerasain sakitnya di tampar di bagian pipinya. Selama ini dia gak pernah ngalamin."

"Kamu tau sendiri gimana hidup Gita selama ini. Bahkan dia jarang mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu. Jangan pernah nyakitin perempuan ya? Kamu sendiri nggak mau kalau mama di sakiti kan?" Atha mengangguk. "Perempuan itu di sayang bukan di sakiti lalu di buang."

"Atha tau. Atha ngaku salah dan udah minta maaf sama Gita Atha gak akan ngelakuin hal yang sama lagi."

"Baru anak mama ini!" Atha memeluk mamanya dengan haru. Bagaimana bisa mamanya menyimpan rasa sakit yang amat dalam dengan tetap tersenyum seperti ini? Atha menyayangi mamanya dan menganggap sosoknya adalah penyemangat hidupnya. Perempuan yang kuat dan tidak pernah mengeluh.

Mamanya akan selalu menutupi luka di tubuhnya ketika berada di depan anaknya. Dirinya tidak ingin jika anaknya melihat luka dan merasakan kesedihan. Siapapun itu jangan pernah menyerah, karena menyerah adalah kata-kata orang yang lemah. Jalani hidup dengan baik meski banyak rintangan, karena itu adalah salah satu tantangan untuk kita agar selalu siap menghadapi segala macam cobaan.

***

Lihat selengkapnya