Hari sekolah Gaitha kali ini berbeda dan itu membuatnya merasa canggung disertai dengan malas. Jika biasanya ia ditatap seolah-olah dirinya adalah penjahat kini ia ditatap dengan penuh rasa bangga.
"Gini ya rasanya di akui sama orang lain?" gumamnya memperhatikan sekitarnya yang tumben sekali tidak mengomentari dirinya.
Segala sesuatu yang sudah ia pupuk dan bina tidak akan dengan mudah ia hilangkan. Hari ini adalah hari Senin dimana mereka akan segera melaksanakan upacara bendera, tapi bagi Gaitha ini adalah salah satu momen untuk bolos. Tidak tau kenapa dirinya suka bolos daripada rajin. Mungkin semua ini adalah ajaran sesat dari Alva sedari mereka kecil.
Ketika yang lain berlari meninggalkan kelas untuk menuju lapangan, maka Gaitha dengan santainya akan berjalan menuju kantin dan menikmati santapan lezat dirinya untuk saat ini.
"Wek? Mie ayam satu jangan pakai timun," ujarnya dengan tenang. Jika makan mie ayam ia tidak akan memakai mentimun, karena punya riwayat darah rendah. Jika, yang lain buru-buru menghabiskan makanannya untuk segera turun ke lapangan, maka Gaitha akan melakukan sebaliknya. Ia akan memilih berlama-lama untuk berdiam diri disini menikmati hari-hari yang tidak boleh ia lewati.
"Nggak upacara lagi mbak?" tanya penjual mie ayam itu sembari meletakkan mangkuknya. Ia mengambil kursi dan duduk di sebelahnya. "Santai banget."
"Lebih enak gini mbak. Capek juga kalau harus berpura-pura baik," balas Gaitha dengan tersenyum. Tadinya ia ingin membolos di rooftop sekolah tetapi mengingat tempat itu dipasang cctv membuatnya mendengus kesal. Tempat paling nyamannya harus tergusur begitu saja. Meskipun, kantin juga terdapat cctv namun itu tidak masalah, setidaknya Gaitha memiliki alasan tidak enak badan dan belum sarapan.
"Mbak nggak nyangka ternyata kamu berbakat," lanjutnya.
"B aja mbak. Lagian saya males kalau harus menonjolkan diri," balasnya enteng. "Kalau saya diem aja nanti gak pada kenal saya. Kalau saya nakal otomatis guru-guru bakalan nyeritain saya di semua kelas yang mereka ajar, dan alhasil?" Gaitha meraih gelas didekatnya dan menuangkan air kedalamnya, lalu ia meminumnya dengan tenang. Setelah selesai ia mengusap bibirnya menggunakan tisu. "Banyak yang bakalan kenal sama saya terlebih anak nakal. Jadi, anak diem aja gak bikin terkenal." Gaitha tersenyum ke arah penjual itu dan melanjutkan makannya.
"Mbak ini berbeda dari cewek lainnya," pujinya.
"Makanya itu mbak. Saya mau beda dari yang lain. Kalau yang sama sudah biasa tapi kalau yang berbeda?" Ia menghentikan ucapannya dan menelannya terlebih dahulu. "Luar biasa," imbuhnya. Lalu ia terkekeh sendiri mendengar perkatannya itu.
***
"Asli gue nggak habis pikir sama jalan tu anak. Udah dapet juara mau dipanggil eh malah bolos lagi," gerutu Gideon yang tidak habis dengan jalan pikir Gaitha.
Galen duduk dengan berpindah-pindah karena pantatnya merasa panas kalau harus duduk terus-menerus. "Pantat gue panas duduk gini nungguin Gai!"
"Orang sabar nanti pantatnya lebar bang," potong Andi dengan tenang. Mulut cowok itu memang sangat licin sehingga mudah berbicara tanpa memikirkan akibatnya. Tapi, bukan karena mulut cowok itu yang menjadi perhatian mereka melainkan hansaplas yang membalut tangannya itu.
"Tangan lo kenapa cil?" Jiwa kepo Galen sudah meronta-ronta ingin menguak fakta. "Jangan bilang lo mau per-"
"Di cakar sama ayam bang. Kasihan banget ayam gue harus di potong karena mau di bikin opor," ujar Andi sedih.
"Motong ayam bikin opor gak ngajakin kita buat makan lo cil! Tega banget! Tega!" ujar Gideon mendramatis. Cocok untuk menjadi aktor televisi.
"Belum juga Andi undang bang. Lagian abangnya dari tadi ngoceh mulu gimana Andi mau ngasih taunya?" Andi sudah merajuk karena tingkah kedua orang itu.
"Cerewet lu pada!" omel Alva.
"Tau mantan lo gak?"
"Nggak. Mungkin dia terperangkap di hati gue," jawabnya asal.
"Mau gue bacok lu?"
"Gue penggal dulu kepala lo sebelum bacok gue," balasnya tak kalah sadis.
"Psikopat kalian!" pekik Andi langsung menutupi lubang telinganya dan juga mata. "Jangan nodai kepolosan Andi!"
"Anak pintar!" Alva mengusap puncak kepala Andi dengan gemas. Ternyata didikannya sedikit berpengaruh pada anak ini. "Didikan gue nih," ujarnya bangga.
"Didikan lo itu sesat!" sarkas Galen.