Dua hari. Sudah cukup dua hari Gaitha mencoba untuk menghindari Alva atau hanya sekedar mencari alasan agar tidak bertemu dengan cowok itu. Tidak ada yang tau kenapa bisa ia menjauhinya. Berulang kali Alva mencoba untuk menemuinya dan mengajak berbicara tetapi selalu sulit untuk mengajak Gaitha.
Bagaikan bulan dan matahari yang sulit bersatu. Mereka bisa bersatu pada satu garis lurus ketika sebuah gerhana akan muncul. Bagaikan senja dan malam meski berdampingan namun tidak bisa saling menggenggam. Seperti itu pula Gaitha dan Alvaro yang berdekatan, namun jarak seakan berjauhan dan sulit tuk menggapai.
Gideon dan Galen yang berusaha mengetahui alasannya pun kesulitan karena Gaitha selalu menghindar jika ditanya soal itu. Seolah ia sedang tidak baik-baik saja. Sorot matanya ketika berjalan di koridor sekolah dan juga senyumnya yang mana sebagian orang menganggap ia bahagia, tapi dimata 2G dan 3A Gaitha sedang tidak baik-baik saja.
"Minggir lo!" usir Gaitha ketika didepannya terlihat banyak orang. Tatapannya seakan menunjukkan jika apa yang mereka ketahui tentang Gaitha benar. Mereka beranggapan jika Gaitha adalah cewek yang suka membully dan apa yang dikatakan oleh Angel benar. Gaitha menulikan pendengarannya.
Gideon dan Galen yang melihatnya hanya saling tatap untuk meminta penjelasan.
"Gue ngerasa di udah berubah," ujar Gideon yang disetujui oleh Galen.
Mereka berdua berjalan mendekati Gaitha yang sudah duduk di bangkunya dan sibuk mendengarkan lagu dari ponselnya. Inilah kebiasaan Gaitha yang baru sekarang, mendengarkan musik dan tidur di kelas.
"Lo kenapa sih?"
"Gue lagi migrain!" balas Gaitha asal.
"Udah minum obat?"
Gaitha menggeleng. "Pait."
"Namanya obat juga pait pinter! Gula atau madu baru manis!" gerutu Gideon.
"Ada obat yang manis tapi itu buat anak umur 1 sampai 6 tahun. Sedangkan, gue udah umur hampir 17 tahun," balas Gaitha.
"Ya minta yang rasa strawberry dong!" Galen ikut menimpalinya.
"Mana ada?"
"Ada!"
"Serius?"
"Tapi, boong!"
Gaitha menenggelamkan kepalanya pada meja dan malas mendengarkan celotehan temannya. "Sorry, kalah selama dua hari ini gue kayak ngejauh dari lo semua," ucapnya secara tiba-tiba.
"Why?"
"Sok Inggris lo!" Gideon menoyor kepala Galen dari belakang.
"We have to learn english and start now," balas Galen. Ia tersenyum, "karena kalah kita nanti kuliah bakalan ada tes TOEFL dan IELTS!"
"Gue mau persiapin semua itu sejak dini biar nggak kesusahan. Lagian nggak ada salahnya kita belajarkan?"
"Anjay! Good luck, bro!"
"I always support you and I wish you success and happiness always. Because I am not you and you are not me. We each have our own lives. We all have the right to be happy and don't give up about your life is now, because it's only a small part of the road to destiny and chase your dreams show the world that you can do it." Gaitha tersenyum melihat kedua sahabatnya ini.
Gideon menatapnya dengan cengo. Dia paling malas belajar bahasa Inggris. Jangankan belajar! Membaca bukunya saja sudah membuat kepalanya pusing tujuh keliling. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rasanys ingin tertidur dengan nyenyak.
"Gue nggak mudeng juga tau yes, no, yes, no!" Gideon mengangkat tangannya.
Gaitha dan Galen tertawa melihat ekspresi Gideon. Tak lupa mereka mengabadikan moment ini.
Gaitha tak tega melihat wajah Gideon yang memelas. "Artinya itu gini, gue selalu mendukung lo dan gue berharap lo sukses dan bahagia selalu. Karena gue bukan lo dan lo bukan gue. Kita punya kehidupan masing-masing. Kita semua berhak untuk bahagia dan jangan menyerah karena hidupmu sekarang karena itu hanya sebagian kecil dari jalan menuju takdir dan kejar mimpimu tunjukkan pada dunia bahwa kamu bisa."
"So? Never give up!"
"Yes!"