Dua jam sudah Gaitha masih setia menangis di bawah pohon besar yang terletak di pinggir jalan. Mungkin memang aneh jika gadis itu selalu merenung di bawa pohon, menurutnya pohon adalah suatu tempat yang akan selalu memberikan arti kehidupan pada dirinya.
Pohon akan selalu tumbuh dan berjuang dalam menjalani hidup ini. Meskipun, daun, bunga, ranting, buahnya berjatuhan atau sengaja di tebang orang, pohon akan selalu bertahan dan tetap bersemi kembali. Pohon yang telah di tebang akan kembali memunculkan tunasnya akan pertanda kehidupan yang masih terus ia jalani. Ia tidak akan pernah menyerah dan akan selalu berjuang dan berusaha.
Seperti pohon juga Gaitha selalu menyemangati dirinya agar bertahan dengan hidup ini. Meski, banyaknya rintangan yang dihadapi. Menerima kenyataan ini begitu menyakitkan bagi Gaitha.
"Kenapa takdir bersikap nggak adil sama gue! Kenapa selalu ada luka yang gue terima dalam hidup ini!"
Gaitha menangkap wajahnya menggunakan kedua tangannya. Rasa sesak di dadanya begitu sakit. Apabila, ia bisa memilih maka ia akan memilih terlahir menjadi anak yang berasal dari keluarga biasa. Meskipun, hidup susah tapi ia bisa merasakan yang namanya kasih sayang orang tua yang lengkap.
"Gue udah berusaha untuk menerima takdir ini. Tapi, kenapa masih ada kenyataan yang malah bikin gue sakit. Gue emang mau ngerasain rasanya punya keluarga lengkap tapi kenapa malah kayak gini!"
Isak tangisnya tak kunjung berhenti. Ia tidak menyadari jika sedari tadi selalu ada Alva yang menemaninya dan menjaganya. Meski tidak dari dekat setidaknya Alva akan mengetahui apa yang dilakukan oleh Gaitha.
Ketika di lihat kondisi Gaitha sedikit membaik Alva mendekatinya. Kakinya melangkah mendekati gadis itu dan berusaha untuk kuat. Meskipun Alva seorang pria ia juga bisa menangis. Menangis adalah hal yang wajar bagi setiap manusia, tidak perlu malu jika menangis. Pria juga punya hak untuk menangis.
Menangis bagi sebagian orang adalah cara yang mampu menyalurkan emosinya. Menangis adalah hal yang lazim. Namun, hanya sebagian orang yang meluapkan rasa sedihnya lewat tangisnya.
"Jangan sedih. Maafin, kakak yang udah nggak mau jujur sama kamu," ujar Alva dengan menyesal. Sudah dari lama ia ingin mengungkapkannya tetapi ia merasa itu bukan waktu yang tepat. Ia berjanji akan membongkar semuanya ketika kebohongan dari keluarga Angel terbongkar dan ia bisa membebaskan mamanya dari cengkraman pria brengsek itu.
Gaitha mengusap air matanya dengan kasar. Ia tidak menyahuti setiap pertanyaan atau perkataan yang terlontar dari bibir Alva.
"Kakak tau ini nggak mudah untuk kamu nerimanya. Tapi, ini adalah kebenaran yang harus kamu ketahui. Mama sedang sakit dan dia cuma mau lihat anak kembarnya rukun dan bisa nemuin dia." Alva kembali berucap untuk membuat Gaitha tenang.
"J-jadi ini alasan bunda kamu nyuruh aku putusin kamu? Karena kamu kembaran aku?" Gaitha bertanya Alva yang sudah duduk di sampingnya. Alva mengangguk.
"Bunda itu cuma jagain aku dan dia punya suami yang tinggal di luar negeri. Jadi, aku dititipin sama dia." Alva memutar badannya untuk bisa melihat wajah Gaitha dengan jelas. "Lihat kakak," pintanya. Alva menatap manik mata indah milik Gaitha dengan lekat.
Gaitha tak kunjung bergerak membuat Alva mendekatinya. Ia memegangi kedua bahu Gaitha, "jangan pernah menyerah dan menganggap bahwa takdir hidup kamu itu nggak adil. Masih banyak di luar sana yang dari lahir nggak pernah lihat orang tua mereka. Bahkan, mereka nggak tau gimana wajah mereka."
"Sejahat-jahatnya mama meninggalkan kita, jauh dari lubuk hatinya itu merasa sakit. Dia ngelakuin semua itu karena ingin melindungi kita." Gaitha mendengarkan kalimat demi kalimat hang dilontarkan oleh Alva. "Jangan pernah nyalahin takdir. Allah sudah menulis takdir kita jauh sebelum kita terlahir di bumi ini. Jauh dari sebelum alam semesta ini terbentuk."
"Tapi, kenapa takdir aku harus kayak gini? Kenapa orang yang aku cinta selama ini dan sudah aku jaga hati aku supaya nggak berpaling malah berakhir menyakitkan seperti ini?" Gaitha sudah tidak bisa menahan rasa sakit di dadanya.