Keesokan paginya Gaitha masih setia menunggu Gistha di dalam ruangannya bersama dengan Alva. Meskipun, masih tersisa luka yang bekjm mengering tapi ia berusaha untuk berdamai dengan semua itu.
Dengan telaten Gaitha membersihkan tubuh Gistha dan sesekali ikut merasakan sakit akan apa yang dirasakan oleh Gistha. Bagaimanapun ikatana seorang anak dan ibu begitu kuat.
Alva mengerjapkan matanya dan melihat Gaitha masih siaga menjaga Gistha membuat hatinya hangat dan bahagia. Rasa khawatirnya semua itu berubah menjadi tenang.
"Sekarang kamu pulang dulu sekolah. Biar mama dijagain sama bunda nanti." Gaitha menoleh ke arah Alva. Gaitha menggelengkan kepalanya.
Alva mendekati adiknya itu. "Jangan sedih nanti kalau mama tau dia makin sedih. Anaknya harus bisa kuat dan semangat menempuh pendidikan."
"Aku belum minta maaf dan banyak ngobrol sama mama. Udah dari lama aku pengen ngerasain apa yang dirasain anak-anak lainnya. Aku pengen ngobrol dan bercanda bareng mama. Aku pengen cerita masalah aku disekolah dan banyak hal."
"Kamu harus sekolah," suara pelan itu mengalihkan pandangan keduanya. Gistha sudah membuka matanya dan menatap kedua anaknya dengan bahagia. Setidaknya diakhir hidupnya ia akan bisa melihat anaknya bertemu dan bahagia.
"Mama?" Gaitha sontak langsung memeluk mamanya. "Maafin, Gita yang udah pernah bentak mama. Gita nyesel dan giga udah maafin mama."
Gistha mengusap puncak kepala putrinya itu dengan sedih. Sudah lama ia mencarinya dan dipertemukan dengan cara yang tidak biasa. "Mama yang harusnya minta maaf. Mama udah ngatain kamu yang nggak bener. Maafin, mama yang sudah gagal jadi mama buat kamu sayang."
Gaitha merenggangkan pelukannya dan menatap mamanya denban sedih. "Sekarang kamu bernahkat sekolah bareng kakak. Jagain kakak jangan sampai dia kecapekan."
"Alva kuat ma!" rengeknya.
"Mama percaya kamu itu putra mama yang paling kuat dan pinter."
Alva tersenyum manis. Gaitha melihatnya ingin muntah.
"Terpesona lo sama senyuman manis gue?" Alva sengaja menggoda Gaitha yang membuat wajahnya merah padam. Namun, Gaitha akan selalu menutupinya.
Gistha bahagia melihat anaknya saling akur. "Kalian ini saudara jangan sampai saling suka satu sama lain. Nanti, akhirnya bukan kebahagiaan tapi kesedihan."
Tawa keduanya berhenti setelah mendengar penuturan Gistha. Seakan ucapannya itu memang ditujukan untuk mereka dan begitu menusuk.
"Ada cinta yang menyakitkan. Cinta beda agama, cinta beda alam, dan cinta sedarah."
Gaitha tersenyum masam mendengarnya. "Udah terlanjur jatuh cinta dengan sangat dalam."
Alva mengusap wajahnya pasrah. Berulang kali ia menghembuskan napas pasrah dan berat akan kisah cinta ini.
"Kalian sudah saling jatuh cinta?" Gistha yang membaca raut dan gelagat keduanya sepertinya apa yang ia tanyakan benar. Ia menghela napas pelan.
Gaitha dan Alva terpaksa tersenyum untuk melihat raut bahagia di wajah mama mereka. "Kita udah selesai, ma. Masih mending kisah kita, ma. Kasihan kisah cinta Atha yang jauh lebih kompleks dan semua kisahnya pasti orang lain pernah ngalamin ya," ujar Alva.
Gaitha menyenggol lengan Alva untuk tidak membahas hal itu. Namun, nyatanya salah jika Alva akan bersikap baik. Akhirnya, Alva tidak jadi melanjutkan ucapannya itu dan memilih diam karena posisinya tidak akan aman.
"Atha itu cowok yang baik. Mama bakalan senang kalau kamu bisa sama dia. Alva juga pasti akan senang kan?" Gistha berkata pada anak kembarnya. "Mama nggak pernah nyangka bisa bertemu dengan anak kembar mama. Bahkan, mama dulu nggak pernah percaya punya anak kembar." Air matanya lolos begitu saja.
"Gita juga suka sama Atha?"
Deg
Perasaan itu muncul kembali seperti mengusik hatinya.
"Mama yakin sama ucapan mama?" Alva bertanya memastikan.
"Kamu masih suka sama Gita?"
***
Sejak dari pagi tadi semua mata memandang Gaitha dengan penuh tanda tanya. Penampilannya yang jauh berbeda dari sebelumnya yang hanya mengikat satu rambutnya dan langsung memakai topi. Tapi, saat ini semuanya hekah berubah. Namun, sayangnya hanya penampilannya saja yang berubah bukan kebiasaannya.