Andaikan saja aku mau menurutinya, pasti aku tidak akan menyesal untuk yang kedua kalinya.
Andaikan, aku yang tidak egois pasti semua ini tidak terjadi.
Semesta?
Kenapa harus selalu perpisahan yang aku dapatkan, ketika kebahagiaan baru saja ingin masuk ke dalam hidupku?
Apakah aku tidak patut untuk bahagia?
Andaikan semua ini hanya mimpi!
Aku akan menjaganya agar tidak pergi.
Namun, nyatanya ini bukan hanya mimpi. Tetapi, kenyataan yang harus kembali aku terima.
Kenapa semua dalam hidupku harus 'Andaikan'?
Kenapa bukan semua itu bisa terjadi!
Kenapa?!
Terkadang, aku bingung dengan hidupku sendiri. Kenapa cobaan selalu datang ke dalam hidupku? Aku tau jika semua ini diberikan karena Allah percaya aku kuat dan bisa bertahan. Tetapi, kenapa semua orang yang aku sayang harus pergi?
Sekarang, aku hanya punya papa. Apa papa juga bakalan ninggalin aku kayak mama dan Alva? Apakah takdirku begitu kejam?
Bisakah engkau ubah andaikan menjadi harus dan bisa?
Aku ingin bermimpi dengan yakin bukan hanya dengan sebuah kata 'Andaikan'!
Kenyataan pahit kembali diterima oleh Gaitha. Belum genap seminggu mamanya telah pergi, kini Alva masuk rumah sakit. Perih pada hati yang ia miliki belum selesai untuk sembuh. Tapi, kenapa semuanya harus kembali terbuka?
Tangisnya tidak berhenti saat melihat Alva langsung dibawa ke ruang UGD. Hatinya cemas. Papanya sudah mencoba untuk menenangkannya. Tetapi, Gaitha masih saja menangis. "Alva kenapa pa?"
"Papa bilang sama Gaitha kalau Alva nggak sakitkan pa?" Gaitha masih terisak dengan tangisnya. Sialnya air mata itu tidak kunjung berhenti juga. "Apa semua orang yang Gaitha sayang bakalan satu persatu pergi ninggalin Gita? Apa papa juga bakalan ninggalin Gaitha kalau udah nikah lagi?"
"Gita udah nggak punya siapa-siapa pa! Gita nyesel pa!"
"Kenapa tadi Gita nolak waktu Alva ngajak Gita buat sholat magrib berjamaah dan dia jadi imamnya? Kenapa Gita nggak turutin keinginannya pa? Apa semua ini salah Gita? Gita nggak mau kayak gini!"
Renal semakin mengeratkan pelukannya pada sang putri. Karena tangisnya kini berubah menjadi terdiam. Renal lebih memilih anaknya meluapkan sesak di dadanya dengan menangis daripada diam. "Jangan sedih," ujarnya.
Gaitha mengusap air matanya dengan kasar. "Ayok kita bangunin Alva buat sholat bareng pa! Alva mau jadi imam buat Gita katanya tadi. Sekarang kita ajak dia dan shalat bareng ya?" Gaitha menarik lengan papanya untuk menghampiri Alva. Namun, responnya berbanding terbalik dengan keinginannya. Renal masih terdiam di tempatnya dan diam-diam menghapus jejak air matanya. Sedari tadi saat berjalan tubuh Gaitha begitu lemas dan membuatnya harus menabrak bahu dari orang yang berjalan di dekatnya. Ia sempat meminta untuk di antarkan ke mushola untuk mengambil mukena dan berdoa untuk Alva. Ia mengajak semuanya untuk berdoa agar Alva baik-baik saja. Namun, kenyataan pahit harus ia dengar dari bibir Renal.
"Alva udah nggak ada sayang," ujarnya dengan sedikit lemas. Ia merasa sudah gagal menjadi seorang ayah.
Gaitha langsung terduduk di lantai mendengar hal itu. "Nggak mungkin! Ini nggak mungkin terjadi!" Gaitha semakin mengencangkan Isak tangisnya kala mendengar berita itu.
"ALVA!"
***
Selepas pemakaman Alva, Gaitha langsung pulang dan duduk termenung di dalam kamarnya sambil memeluk erat foto Alva dan dirinya. Air matanya tidak kunjung berhenti.
"Alva kenapa harus pergi ninggalin Gita sendirian disini? Apa Alva udah nggak sayang sama Gita?" Pelukan itu semakin erat kala bayangan wajah Alva semakin terang. "Alva katanya mau imamin Gita shalat magrib? Ayok, Gita mau."
Kamar itu hanya remang-remang karena lampu yang terpasang dimatikan saklarnya oleh Gita. Kegelapan seakan melukiskan apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupnya.
"Gita mau ikut Alva. Gita mau pulang juga sama Alva dan mama. Kita belum sempet foto berempat!"
Renal hanya mengusap air matanya saat melihat putrinya menangis pilu. Sakit hatinya semakin terasa. "Maafin, papa." Hanya itu yang bisa keluar dari bibir Renal. Memang kepergian Alva tidak pernah terduga dan tanpa terencana. Rasa sakit yang anak itu rasakan adalah murni dari dirinya sendiri. Cowok yang kuat dan selalu menjadi sosok kakak yang baik untuk sang adik tercinta.
Atha yang melihatnya ikut bersedih. "Saya boleh ketemu sama Gita om?" izinnya. Renal lalu mengangguk dan mempersilahkannya.
Atha masuk ke dalam untuk menenangkan Gita. Langkahnya sedikit ragu untuk menghampirinya. "Git?"
"Pergi! Jangan deket-deket sama gue! Semua orang yang deket sama gue pasti bakalan pergi juga ninggalin gue!" pekiknya ditengah Isak tangisnya.