Hari ini adalah hari dimana kelas 12 MIPA 4 dan MIPA 2 mendapatkan jadwal pelajaran yang sama. Mereka diminta untuk menuliskan isi hati mereka yang kemudian harus mengungkapkannya di depan semua teman sekelas mereka. Pelajaran bahasa Indonesia adalah pelajaran yang paling membosankan bagi Gideon dan Galen. Kedua makhluk itu malah terdiam diri sambil merenung membayangkan bentuk yang indah dari awan di langit. Bukan hanya 2G tapi Gaitha juga malas dan memilih untuk tidur di bangku taman bersama kedua sahabatnya itu.
Banyaknya tatapan anak MIPA 2 yang memperhatikan ketiganya dengan tatapan yang sulit diartikan. Mereka menganggap bahwa mereka tidak memiliki aturan yang jelas. "Nggak jelas banget asli!"
"Disuruh apa malah ngapain!" Cowok yang terkenal tidak suka dengan kehadiran ketiganya yaitu Juni. Memang sejak awal ia tidak suka dengan mereka entah karena apa.
"Kalau ada yang sudah silahkan maju ke depan untuk membacakan apa yang telah kalian tulis," perintah Bu Sila.
Ditatapnya tidak ada yang menyahut akhirnya ia memilih salah satu dari mereka semua. "Saya akan pilih random."
Jantung mereka berdegup kencang saat akan dipanggil. Bukannya tidak mau hanya saja masih gugup dan kurang percaya diri. "Gaitha silahkan maju," ujar Bu Sila.
"Gaitha?!"
Gideon yang sadar langsung membangunkan Gaitha yang masih tertidur. "Gai? Bangun bego!"
Gaitha dengan nyawa yang masih belum terkumpul langsung membuka matanya dengan malas dan menatap mereka satu persatu dengan bingung. Ia kembali menoleh ke arah Gideon. "Ada apa kakang?"
"Maju lo! Di suruh bacain apa aja yang udah lo tulis!"
Gaitha langsung berdiri menghampiri Atha dan meminta air minumnya untuk mencuci mukanya. "Minta," ujarnya.
"Dih! Nggak sopan," cibir Juni.
"Tha-tha aja nggak ngelarang kok lo sewot!" Gaitha langsung berjalan mendekati Bu Sila.
"Suruh bacain apa yang saya tuliskan Bu?" Gaitha bertanya kembali untuk memastikan. Bu Sila mengangguk.
Gaitha malas memandang anak MIPA 2 dan memilih untuk mendangak agar tidak melihat mereka. "Jangan gitu Gaitha!"
"Saya nggak bisa kalau nggak gini Bu! Lagian saya mau baca ini!"
"Mana buku kamu? Kenapa tidak kamu tulis? Mau saya nilai." Bu Sila menatap Gaitha bingung.
"Nulisnya belakangan aja Bu. Soalnya gampang lupa saya."
"Terserah kamu sajalah Gaitha," Bu Sila sudah pasrah jika berurusan dengan Gaitha. Terakhir ia berurusan dengannya malah ia harus masuk ke rumah sakit karena darah tingginya kumat.
Gaitha menarik napasnya terlebih dahulu dan menghembuskannya perlahan. "Baiklah dengarkanlah! Rasakan lah jiwa dan ragamu datang penuh dosa."
"Jangan nyanyi tolol!"
"Sabar!" Gaitha berdecak sebal. "Dengarkan semuanya! Saya akan membacakan apa yang sudah saya tulis kepada kalian semua! Harap tenang dan jangan banyak bicara!"
"Tulisan ini saya beri judul 'Kisah Kita' karya Gaitha Abrina. Sebuah tulisan yang membekas di hati."
Gaitha menyiapkan hatinya terlebih dahulu sebelum membacanya. Mereka menatap aneh Gaitha, bagaimana mau membaca kalau tidak ia tulis di buku terlebih dahulu atau kertas?
Kisah kita dulu memang ada
Tapi, sekarang tinggallah kenangan sahaja
Sebuah kenangan yang kini kurindukan
Jatuhnya memang sudah terlalu dalam
Tapi, ada seseorang yang menyadarkan ku akan satu hal
Mau bertahan atau mengalir seperti air?
Tanpa adanya tujuan?
Ikut alur lebih nyaman sepertinya
Sebuah alur yang endingnya tidak kita ketahui
Happy or sad ending?
Semua itu adalah kisah kita
Kisah yang pernah kita mulai dan juga pernah kita akhiri, hingga kini telah usai dengan kenangan yang begitu membekas di hati
Bukan hanya untuk kamu sang pangeran hati
Tapi, juga untuk kamu raja, ratu serta sahabat tercintaku
Tertanda; Gaitha Abrina.
Gaitha menyelesaikan tulisannya itu dan langsung kembali duduk. "Terimakasih, sebelumnya."
Semuanya bertepuk tangan dan mencoba memahami apa yang sedang dibacakan oleh Gaitha tadi. Otak mereka mendadak blank saat itu juga. Gaitha hanya malas saja saat itu dan memilih melanjutkan tidurnya.
"Bagus dan untuk selanjutnya Gideon."